Metode Learn, Unlearn, Relearn bisa digunakan untuk mempelajari hal baru, lho! Gimana caranya? Simak pembahasannya!
—
Biar saya mulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan: “Apa yang kamu lakukan kalau ilmu yang kamu pahamin sekarang, ternyata udah nggak sesuai lagi di masa depan?” Bisa jadi, ilmu yang sekarang kita anggap benar, udah berubah dan gak bisa dipakai lagi.
Lho, bukannya ilmu itu sesuatu yang pasti? Kayak 1 + 1 = 2? Udah absolut, paten, baku.
Eits, jangan salah. Ternyata nggak selamanya kayak gitu, lho. Salah satu bukti gampangnya adalah ilmu tentang COVID19. Ketika pertama kita menemukan penyakit ini, ada fakta-fakta yang berubah seiring berjalannya waktu, kan? Jadi, kita harus terus-terusan meng-
upgrade
isi kepala kita tentang COVID19. Begitu pula tentang ilmu-ilmu lainnya.
(P.S.
Btw
, 1+1 juga hasilnya bukan 2 lho, kalau konteksnya lagi ngomongin bilangan biner :p)
Di samping itu, perkembangan teknologi dan sains di dunia ini, bergeraknya tuh cepet banget! Dari yang bentuk
harddisk
segede lemari, lalu berubah jadi
micro SD card
, sampai sekarang
micro SD
yang ukurannya segede kuku, udah bisa nampung data sampai 128 GB.
Oke, itu contoh yang kecil aja dan mungkin kelihatannya nggak terlalu berpengaruh. Tapi, apa maksud dari ini semua? Ya, bahwa dunia kita itu perkembangannya cepat banget. Itu artinya, penemuan-penemuan bisa datang silih berganti. Itu artinya lagi, kita harus siap menghadapi pertanyaan di awal tadi:
“Apa yang harus kita lakukan kalau ilmu yang selama ini kita percaya, yang kita anggap benar, ternyata udah gak bener lagi?”
Jawaban gampangnya: gerak. Yap. Gerak!
Mau gak mau, kita harus bergerak mengikuti perkembangan teori dan ilmu pengetahuan yang dinamis. Gak bisa, tuh, kita
kekeuh
maksain hal yang udah gak relevan lagi.
Baca juga:
Apa Sih Dampak Teknologi Terhadap Kebiasaan Belajar Kita?
Masalahnya, mempelajari hal baru itu susah. Alvin Toffler, seorang
futurist,
pernah bilang, “
The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.”
atau, kalau diterjemahin secara bebas kurang lebih gini: “Orang-orang yang gagap literasi di abad ke-21, bukan mereka yang gak bisa baca tulis, tetapi mereka yang gak punya kemampuan untuk
learn, unlearn,
dan
relearn
.”
Kalau mau diartikan secara dalem, sih, nantinya apa yang kita “baca dan tulis” udah gak begitu berpengaruh. Karena
punya pengetahuan ≠ mengerti suatu hal.
Sama kayak yang Alvin bilang, untuk mempelajari hal baru, kita membutuhkan ketiga proses itu:
learn
,
unlearn
,
dan
relearn
.
Ini sengaja gak diubah ke bahasa Indonesia supaya lebih gampang aja, ya. Kasarnya, kita belajar suatu ilmu, lalu kita coba ‘hilangkan’ ilmu yang udah kita tahu itu, kemudian kita pelajari lagi hal baru yang masih terkait dengan ilmu itu. Biar nggak bingung, kita bahas lebih detail, ya.
Learn
Dalam mempelajari hal baru, yang harus dilakukan ya pasti dengan mempelajari sesuatu secara fokus. Karena, kalau kita gak belajar, atau kita belajar tapi ala kadarnya dan cuma sambil lalu… YA BERARTI NAMANYA KITA NGGAK BELAJAR DONG WEY. Belajar itu harus fokus ya, supaya apa yang kita pelajari bisa benar-benar terserap ke dalam otak kita dan bisa kita ingat untuk jangka waktu yang lama.
Nah, untuk tahu cara-cara belajar yang efektif, kamu bisa cek nih, satu kategori khusus di
ruangbaca
tentang tips belajar. Coba aja
klik di sini
.
Unlearn
Nah,
step
2 ini adalah hal yang paling susah. Karena dalam
unlearn,
sejatinya kita melakukan satu hal ini: melupakan apa yang sudah kita tahu. Bayangin aja. Kamu udah latihan main
skateboard
sampai menguasai, lalu kamu ‘belajar buat nggak bisa main
skateboard’
.
Hayo, pusing nggak tuh?
Atau contoh lain, kamu belajar naik sepeda. Lalu, sepuluh tahun kemudian, kamu menemukan sepeda yang udah dimodifikasi: setirnya dibuat terbalik. Ketika kamu membelokkan setir ke kanan, sepedanya belok kiri, dan ketika kamu membelokkan ke kiri, sepedanya belok ke kanan. Jadinya, apa yang udah kamu ketahui selama ini tentang menyetir sepeda, harus kamu ‘hilangkan’ dari pemahaman kamu.
Melupakan hal yang udah kita pahamin itu pasti bikin kita gak nyaman. Inilah kenapa
unlearn
jadi langkah penting sekaligus susah. Coba aja
unlearn
gaya bahasa yang kamu pakai ketika lagi
chatting,
atau
unlearn style
desain yang sering kamu buat, atau
unlearn
solusi yang biasa kamu pakai untuk mengerjakan kasus yang biasanya kamu temuin, atau
unlearn
cara kamu melakukan perkalian.
Misalnya, kalau kamu terbiasa melakukan perkalian 25 x 13 dengan mengurutkan ke bawah, coba sekarang metode nyelesainnya dengan mendekatkannya ke bilangan yang ketika dikali jadi ada nol-nya (dalam kasus ini, hitung dulu 25 x 14, baru hasilnya dikurang 25). Pusing, pusing, dah.
Baca juga:
Mengatasi Anxiety, Kegelisahan, dan Emosi Negatif dengan Filosofi Stoik
Unlearn
ini penting karena ketika kita mengulangi hal yang sama, kita menganggap itu sebuah rutinitas yang kita sudah tahu jawabannya. Pikiran kita jadi menolak ide baru. Padahal, kayak yang udah kita bahas, di masa depan, teori dan ilmu itu dinamis. Bisa berubah kapan aja. Kalau kita terpaku sama rutinitas dan gak mau berubah, mempelajari hal baru bakal jadi persoalan yang susah buat kita.
Beberapa kalimat yang biasanya orang katakan tuh, gini: “Gue pernah ngalamin ini. Lakuin gini deh, pasti berhasil.” atau “Oh, kalau modelnya kayak gitu, gue udah tahu jawabannya.”
Kalimat-kalimat itu menjadi tanda kalau kita udah menutup kemungkinan-kemungkinan lain di luar hal yang jadi rutinitas kita. Makanya, hal paling susah adalah melupakan segala sesuatu yang kita anggap kita tahu.
Emang, melupakan itu berat, jendral!
Relearn
Ketika melakukan pembelajaran kembali, pikiran kita harus terbuka. Secara mental, kita harus berani mengatakan “Bisa jadi saya salah”
.
Barangkali di luar sana ada cara baru, atau pola pikir baru, atau orang-orang baru, atau metode baru yang selama ini tidak saya ketahui.
Misalnya, kalau sebelumnya kamu cuma belajar dengan baca-baca artikel, sekarang coba belajar dengan metode baru: menonton video, atau mendengarkan
podcast
.
Ada beberapa tips yang bisa kamu lakukan untuk ini:
1) Terbuka dengan kemungkinan baru
2) Coba hal-hal yang nggak biasa
3) Berani ambil risiko
4) Pertanyakan apapun
Baca juga:
Cara Membentuk Kebiasaan dengan Identity-Based Habit
Kenapa metode ini penting buat kamu di masa depan? Tentu, supaya ketika waktunya tiba, kapanpun itu, kamu jadi orang yang bisa beradaptasi dengan dunia.
Maka, biar saya tutup tulisan ini dengan kutipan dari buku Future Shock karya Alvin Toffler: “Pendidikan baru seharusnya mengajarkan individu untuk tahu bagaimana caranya mengklasifikasi dan mengklasifikasi ulang suatu informasi, bagaimana mengevaluasi kebenaran, bagaimana mengubah kategori-kategori tertentu ketika dibutuhkan, bagaimana bisa berpindah dari sesuatu yang konkrit, menjadi abstrak, dan kembali konkrit, bagaimana melihat suatu masalah dari berbagai sisi—bagaimana mengajarkan dirinya sendiri. Orang-orang yang gagap literasi di masa depan, bukan mereka yang tidak bisa membaca, tapi mereka yang tidak punya kemampuan untuk mempelajari sesuatu.
Referensi:
Warrell, Margie. ‘Learn, Unlearn and Relearn: How to Stay Current and Get Ahead’,
Forbes.com.
[Daring]. Tautan: https://www.forbes.com/sites/margiewarrell/2014/02/03/learn-unlearn-and-relearn/?sh=bc7f9e5676fe (Diakses: 13 November 2020)
Toffler, Alvin (1971).
Future Shock
. Bantam Books: New York.
Sumber Foto:
Alvin Toffler. ‘Vern Evans, CC BY-SA 2.0’ [Daring] Tautan: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Alvin_Toffler_02.jpg (Diakses: 17 November 2020)
Artikel ini telah diperbarui pada 8 Juni 2022.