Cerek Talise



Cerpen Cerek Talise Karya Nadhila Hibatul Nastikaputri





Karya: Nadhila Hibatul Nastikaputri









Mentari belum tanggal ketika aku menyaksikan ratusan orang berjejal di bibir Pantai Talise. Layaknya semut-semut yang mengerumuni sebuah gula, orang-orang itu terkumpul pada sebuah titik. Semilir angin menggoyang pucuk dedaunan dan reranting pohon tempatku termangu menatap orang-orang itu. Dari atas sini memang tidak jelas benar apa yang mereka lakukan. Tapi, lamat-lamat taluan gendang, tiupan seruling, dan lantunan syair-syair yang terbawa angin itu membuatku yakin jika mereka sedang melangsungkan sebuah pesta.



Orang-orang di bawah sana tampak begitu berwarna. Pakaian yang melekat pada tubuh mereka serupa lembayung senja. Baju kuning serta kain oranye membungkus tubuh-tubuh wanita yang melenggang seirama taluan gendang. Wanita-wanita itu terus bergerak gemulai, melingkar, mengitari sebuah api yang berkobar. Di sana, kulihat juga, sejumlah laki-laki berpakaian serba hitam dengan ikatan kain legam di kepala. Mereka berdiri saling mengaitkan tangan. Seolah tak ingin kobaran api itu lekas padam.



Kalau boleh jujur, kerumunan manusia di bawah sana membuat hati ini bergetar. Sungguh, sebetulnya aku ingin ke sana, ke tempat di mana orang-orang itu berkerumun. Ah, tapi kata-kata ibu sebelum pergi berputar di kepalaku,

jangan turun, tetap di sini sampai ibu kembali.

Mengingat kata-kata yang ia sampaikan membuatku keinginanku jadi surut.



Aku tak berharap ibu marah lagi dan tidak memberikan makanan padaku hari ini. Cukup sekali saja aku merasakan hukumannya, melewati hari dengan perut tanpa isi.  Maka, aku tak akan beranjak dari tempatku saat ini. Tidak akan.



“Apa kau ingin pergi ke sana?” lamunanku buyar. Aku menoleh, saudaraku sudah bertengger di dahan ramping yang menjulur ke arah pantai.



“Ah…, aku hanya heran mengapa ada banyak orang di bawah sana,” tukasku sekenanya.



“Aku juga. Mari kita lihat!”



“Tidak! Ibu melarang kita kemana-mana, bukan? Aku takut kalau ia marah lagi.”



“Kau ini. Ibu akan marah jika ia tahu kita pergi. Tapi, kalau tidak tahu…”



Sengaja saudaraku memutus kalimatnya. Aku berpikir sejenak, memang betul apa yang dikatakan saudaraku itu. Ibu marah jika tahu, tapi kalau tidak tahu…. Ah, tunggu! Pikiran liar macam apa ini? Tidak. Aku tak mau melanggar larangan ibu.



“Kau ingin mengatakan jika tidak tahu, dia tak akan marah, kan? Apa pun itu aku tetap tidak akan turun.”



“Hey, ayolah… jangan terlalu kaku. Apa kau tidak tertarik dengan bunyi-bunyi itu? Siapa tahu kita dapat makanan di sana,” saudaraku mengarahkan paruhnya ke arah sejumlah lapak makanan di bawah kami. Lapak-lapak yang berjejeran, menggelar dagangan berbagai macam makanan, membuat perut makin keroncongan. “Toh, ibu juga pergi lama sekali,” sambungnya.



Betul. Ibu memang belum kembali sampai saat ini. Sejak matahari kian meninggi, ibu pergi ke arah laut, mencari ikan kecil untuk kami. Dan sampai sekarang, sampai senja memeluk pantai ini, ibu belum juga datang.



“Tidak. Aku akan tetap di sini” tandasku.



“Huh… Pengecut!”



Terdiam. Tidak kutanggapi apa yang dikatakan saudaraku. Kubiarkan ia berkicau sesukanya dan memilih menatap lepas ke arah langit untuk melupakan perutku yang kian meronta. Lalu melempar pandang ke laut, arah ke mana ibu pergi sejak siang tadi. Hatiku mencelus. Perasaanku mulai tidak karuan. Tidak biasanya ibu mencari makan begitu lama. Ke mana sebenarnya ia?



Baca Juga:
Cerpen Gadis Kecil di Tepi Jalan Karya Mustoifah



“Aku benar-benar lapar, sekarang! Kalau kamu mau ikut, ayo pergi bersama!”



“Tunggu!” sergahku “Bersabarlah barang sebentar. Tunggu beberapa saat lagi. Pasti sebentar lagi ibu datang bawa banyak makanan untuk kita,” aku mencoba menghibur diri.



“Kau yakin? Sebentar lagi?” saudaraku mulai membentangkan sayap kecilnya, “Terserah apa katamu, pokoknya aku akan pergi. Sekarang.”



Sebenarnya aku tidak yakin betul dengan kalimat yang kukatakan. Tapi, tak mungkin aku membiarkan saudaraku pergi dari sarang sendirian. Jadi, sebelum kegusaran benar-benar menguasai, kucoba mencari celah untuk menggagalkan kepergian  saudaraku. “Sebentar! Sayap kita belum begitu kuat untuk menukik ke bawah sana. Bagaimana kalau nanti kita terjatuh?”



“Ah, banyak alasan! Bilang saja kalau tidak berani?”



Aku menunduk, “Bukan, bukan begitu.”



“Lalu?”



Dengan lemah aku menggeleng, “Entahlah. Kurasa kita harus tetap di sini. Menunggu sampai ibu pulang.”



“Kalau itu memang maumu, maka tunggulah.” Sayap kecil saudaraku hampir sempurna mengembang, ia siap melompat dari dahan yang dipijaknya.



“Hei! Kalau ibu pulang dan kau masih di sana, apa yang harus kukatakan padanya!?”



“Bilang saja, anaknya belajar berpetualang!”



Perlahan saudaraku mengepak, kemudian melompat dari tempatnya bertengger. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan dan terhempas ke tanah. Aku memekik, khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu padanya. Tetapi, ia berhasil menguasai diri sebelum tubuhnya benar-benar membentur tanah. Hebat! Ia memang pemberontak yang terlatih.



Saudaraku mulai menjauhi pohon yang menjadi tempat tinggal kami. Pelan tapi pasti, tubuh mungilnya menghilang, menyusup di antara kerumunan. Rasa cemas bila ia terjatuh sudah mereda, tapi yang kian memuncak adalah kekhawatiranku pada ibu. Sampai saat ini, ia belum juga kembali ke sarang. Apa mungkin terjadi sesuatu padanya? Mungkinkah?



Baca Juga:
Cerpen Masih Ada Waktu Karya Eko Triono



Ketika seluruh pikiranku belum juga beralih pada ibu, ketika rasa gusar hampir menyergap seluruh hatiku, kurasakan pohon yang menjadi penopang sarang kami bergoyang. Bergoyang, terus bergoyang, dan dalam sepersekian detik berubah menjadi goncangan yang maha dashyat.




Apakah ini? Apa yang terjadi?



Tubuhku goyah, terhempas ke pepasiran, lalu terantuk batu yang ada di bawah pohon kami. Pandanganku kabur dan kepalaku berkunang-kunang. Tapi di antara kesadaran yang masih tersisa, kulihat orang-orang yang berkumpul itu tercerai-berai. Berlari. Menjauh dari pantai.




Mengapa seketika kerumunan yang kulihat buncah?




Mengapa orang-orang itu menjerit, tersungkur-sungkur menjauhi bibir pantai?




Apakah ini? Apa yang terjadi?



Saat semua pertanyaan yang berjejal-jejal itu belum terjawab, serta merta bayangan saudaraku melintas-lintas. Bukankah ia berada di antara kerumunan itu? Ah, membuat repot saja! Aku mencoba menegakkan badan meski beberapa kali rebah kembali. Dengan terhuyung perlahan ku kepak sayap, lalu mencoba mengudara, terbang rendah menuju titik dimana saudaraku menghilang di tengah kerumunan.



Aku menciap, memanggil-manggil, tapi tiada sebuah jawaban pun yang kudengar. Hanya desau angin yang menyahut semakin kencang. Langit seketika memekat dan kulihat air di pantai tersedot ke arah laut lepas.




Mengapa tiba-tiba air ini surut?




Apakah ini? Apa yang terjadi?



Berkelebat dalam pikiranku sebuah pesan ibu beberapa waktu yang lalu,

jika tiba-tiba air surut ke arah laut berarti alam sedang marah. Dan saat itulah kita harus segera terbang menjauhi pantai

. Apakah benar alam sedang marah saat ini? Apakah aku harus segera menjauh dari pantai seperti orang-orang itu? Kurasa manusia memang lebih pandai membaca situasi.




Ibu… aku harus bagaimana?




Haruskah aku mencari saudaraku?




Tapi, aku benar-benar takut Ibu… benar-benar takut.




Bagaimana ini, Ibu?



Maka dengan hati yang begitu berat, terganjal rasa bersalah yang makin menyesak, aku menjauh dari bibir pantai. Perlahan mengepak mengikuti arah ke mana orang-orang itu berlari, menuju gedung-gedung tinggi di seputaran pantai. Tapi, sayapku tak mampu membawa terbang lebih tinggi untuk mengikuti orang-orang itu. Maka, aku mencari tempat lain untuk bertengger: sebuah kubah hijau, kubah masjid yang berada di dekat Pantai Talise.




Aku melihat air membumbung melebihi tinggi pohon-pohon kelapa




Aku menyaksikan air bergulung, menerjang, meluluhlantakkan semua.




Aku menjadi saksi betapa alam begitu murka



Baca Juga:
Cerpen Teka-Teki Hilangnya Mayor Georg Muller Karya Abdul Hadi



Ibu… bawa aku pulang…bawa aku pulang. Aku tak cukup nyali untuk berada di sini. Hanya gelap yang sejak kemarin bersemayam di tempat ini. Kesunyian yang bertahta di antara tubuh-tubuh kaku di sekelilingku membuat gigil tubuh semakin terasa. Tapi, aku tak mungkin pergi ibu, seluruh badanku terasa ngilu terlebih hatiku.



Apakah mungkin kau menjemputku? Aku tak lagi dapat mengenali pohon yang menjadi rumah kita. Semua rata, remuk, tak berbentuk. Seluruh tubuhku terasa ngilu, terlebih hatiku. Hati yang terus terhujam oleh sesal karena meninggalkan saudaraku. Marahkah kau karena aku meninggalkan anakmu sehingga kau tak juga mencariku?



Kumohon Ibu, datanglah dan bawa aku menjauh dari tempat mengerikan ini.



*Cerek: jenis burung pantai



*Pantai Talise: salah satu pantai di Palu



Tentang Penulis:



Nadhila Hibatul Nastikaputri merupakan seorang p
erempuan Gunungkidul kelahiran Mei 1998 yang menyukai senja dan kerlip lampu kota. Aktif menulis cerpen dan artikel. Saat ini tengah mendalami sastra di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada sembari menjadi tentor les di kabupaten kelahirannya. Kabarnya bisa ditengok di @nadhilaputri21, sementara tulisannya bisa dibaca dalam kumcer Maya dan Mira (2019), buku Seni Menata Cita (2021), dan bulletin Astro (2022).






Ruangguru membuka kesempatan untuk kamu yang suka menulis cerpen dan resensi buku untuk diterbitkan di ruangbaca, lho!
Setiap minggunya, akan ada karya cerpen dan resensi buku
yang dipublikasikan. Kamu bisa
baca karya cerpen menarik lainnya di sini
, ya. Yuk, kirimkan karyamu juga! Simak syarat dan ketentuannya
di artikel ini
. Kami tunggu ya~





LihatTutupKomentar