Buku Sihir Mantra karya Maman S. Mahayana ini mencoba mengungkap sihir mantra dan perkaitannya dengan perpuisian Indonesia. Yuk, simak reviewnya berikut ini!
—
“Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata-kata pada awal-mulanya. Pada mulanya–adalah kata. Dan Kata pertama adalah Mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra”
. Begitu bunyi petikan paragraf terakhir Kredo Sutardji Calzoum Bachri (SCB), dalam O, Amuk, Kapak (1981).
Syahwat kuat mengembalikan kata pada muasalnya dalam kredo SCB itu, bukan semata berangkat dari ruang hampa. Mantra menyimpan detak aura magis. Mengingat adanya aura magis itu lah mantra kerap diperlakukan sebagai wilayah yang sakral.
Sakralitas mantra penuh daya komunikatif dan dianggap ampuh menyampaikan pesan yang berkelindan dengan yang supranatural. Ada ruang imajiner dalam semesta mantra. Ia kerap diperlakukan sebagai sarana komunikasi dengan makhluk gaib, dengan sesuatu yang ada di dunia lain. Ada sugesti dan membangkitkan optimisme setelah merapalkan mantra.
Dalam situasi yang tak bisa ditebak, berhubungan dengan sang penguasa jagat raya merupakan tuntutan yang tak terperikan. Senantiasa menjalani tuntutan itu pamrih agar dunia selalu dalam kondisi baik, tidak mendatangkan bencana. Demikianlah, mantra pada hakikatnya adalah doa.
Dalam
Sihir Mantra
, pengajar
cum
kritikus sastra, Maman S. Mahayana menyebut mantra itu entitas ajaib. Ia kerap berada di antara dua tebing ‘sakralitas’ dan ‘profanitas’ yang saling tarik ulur. Sakralitas mantra merujuk ihwal posisinya, di mana hanya orang-orang tertentu yang boleh merapalkannya. Di sini, teks mantra berupaya menghadirkan legitimasi.
Legitimasi kekuatan mantra dihadirkan mewujud nama-nama yang agung. Maman menangkap itu dengan jeli, dengan menyuguhkan kutipan dari sebuah buku bertajuk Malay Magic (1990), karya Walter William Skeat.
Begini kutipannya :
Hai, anak jin Salaka yang menyendiri// Datanglah ke sini, saat ini, saat ini juga// Aku ingin memberimu persembahan perdamaian untuk perjamuanmu arak dan minuman keras// Jika engkau tidak datang ke sini pada saat ini// Engkau akan jadi murtad pada Tuhan dan sosok murtad pada Nabi Sulaiman// Karena aku adalah Nabi Sulaiman Allah
. (Hal-32)
Mantra tersebut, mantra penangkal bala agar makhluk halus tidak berani mengganggu. Ada bujuk-rayu, ada ancaman, dan ada pembenaran. Pembenarannya, merujuk interpretasi Maman, menempatkan si Aku seolah-olah sebagai Nabi Sulaiman, sosok Nabi yang dipercaya dapat memahami bahasa hewan. Legitimasi pada sosok Nabi Sulaiman didaulat sebagai ancaman dalam bujuk-rayu mantra itu.
Begitu lah mantra memancarkan aura magis. Mantra ada berangkat dari kesadaran manusia pada kuasa alam yang misterius, memesona, sekaligus menakutkan. Ia menjadi semacam pengharapan agar kuasa alam yang tak menentu itu membikin kehidupan menjadi baik. Sebagaimana doa, mantra juga medium. Medium memohon agar kehidupan manusia lebih baik, dijauhkan dari pelbagai bala yang datang dalam situasi apapun.
Karena itu, baik doa maupun mantra pada hakikatnya menandakan bahwa manusia punya kesadaran transendental. Ada keyakinan bahwa di luar mereka ada makhluk lain yang punya kuasa besar yang dapat melumatkan eksistensinya. Kehadiran mantra untuk membujuk sang kuasa gaib itu. Tak disangsikan lagi, dalam setiap ritual yang berkelindan dengan sistem kepercayaan, selalu ada mantra yang dirapalkan.
Baca Juga:
Resensi Buku Keajaiban Yang Mengubah Hidup Dari Bersikap Tidak Ambil Pusing Karya Sarah Knight
Itulah mengapa sebagian besar daerah di Nusantara menjadi ladang gembur tumbuh suburnya pelbagai jenis mantra. Ia hadir mewujud ragam bahasa daerah ; Jawa, Madura, Bali, Sunda, Kalimantan, Bugis, Melayu, dst. Barang tentu, entitas mantra yang hidup di masing-masing daerah tersebut selain berada di tepian sakralitas, juga menepi dalam lingkaran profanitas.
Profanitas mantra menemukan momentumnya tatkala keberadaannya dijadikan medium urusan duniawi. Seperti urusan memancing ikan, berburu, membangun rumah, menanam dan memanen padi, menebang pohon, berjudi, percintaan, dan pengasihan. Dengan menghadirkan legitimasi berupa nama-nama yang agung, diharapkan dapat memancarkan berkah, mendatangkan keberlimpahan, dan keberuntungan lainnya. Demikianlah mantra selalu tarik ulur di antara dua tepian itu.
Seiring perputaran waktu, Maman menilik adanya kesadaran kultural dalam diri penyair mutakhir untuk memasukkan unsur-unsur mantra di semesta kreativitas mereka. Beberapa puisi belakangan hadir dicipta serupa mantra. Embrio kesadaran penciptaan puisi yang mantra itu dipelopori SCB melalui kredonya. SCB hendak mengembalikan kata pada muasalnya, pada mantra.
Kehendak itu bukan tanpa alasan. Ia berangkat dari pemahaman ihwal keberadaan mantra yang dicatut sebagai puisi tertua. Sutan Takdir Alisjahbana (1946) menggolongkannya masuk dalam khazanah puisi lama. Anggapan ini diperkuat lagi dengan dugaan Teuku Iskandar (1996) yang menganggap keberadaan mantra sudah ada sejak zaman pra-Hindu. Barulah setelah kedatangan Hindu, ada kesadaran memparafrasakannya ke dalam bentuk puisi.
Kesadaran itu tampaknya melekat di kedirian proses kreatif SCB. Ia berusaha menumbuhkan kesadaran akan eksistensi unsur mantra dalam gaya perpuisian baru dalam arus kesusastraan kita. Pelbagai usaha dilakukan. Mulai dari pemanfaatan repetisi, perubahan fonetis, hingga penghadiran paradoks. Mengingat itu, Maman menyebut, arena puisi menjelma seperti main-main yang tidak main-main.
Walhasil, selain mendaku dirinya sebagai presiden penyair, SCB jadi sosok kontroversial berkat perkara kredonya itu. Tidak berhenti sampai di sini. Ia lalu membuat kontroversi lain ; membaca puisi-mantranya di atas pentas dengan menenggak bir. Aksesori ini didukung dengan suaranya yang khas, yang sesuai dengan semangat mantra.
SCB ingin dirinya trans. Ia lebih memilih bir, bukan arak yang dapat merontokkan kesadarannya. Dengan bir, dirinya masih sadar. Sebagaimana dukun maupun pawang ketika membaca mantra mengalami trans, SCB seolah-olah berada di situasi semacam itu. Dengan menenggak bir, ia mengalami trans. Alhasil, pembacaan puisi-mantra SCB tampil beda dari kebanyakan penyair pada umumnya.
Dengan demikian, mantra bergerak dari semesta teks ke arena panggung imajiner tetap dalam ciri khasnya. Ada dugaan kuat dibalik pilihan SCB pada mantra. Bagi Maman, pilihan SCB pada mantra tidak hanya sekedar mengembalikan kata pada kepurbaannya, atau mengangkat kepurbaan mantra sebagai bagian dari puisi modern, melainkan ada kesadaran bahwa mantra menyimpan energi besar yang secara potensial memberi peluang kebebasan kreativitas bergerak lebih luwes. (Hal-127)
Sebagai kritikus sastra, fokus buku ini tentu sebagian besar terletak pada pengamatan Maman terhadap kredonya SCB. Pelbagai interpretasi dan komparasi dihadirkan. Ihwal puisi yang coba menegaskan konsep estetik puisi, ihwal sastra, seni, dan budaya yang mengungkap persoalan sastra, ihwal perbincangan karya-karya penyair yang merentang dari Rumi hingga Djenar Maesa Ayu turut mengiringi wawasan pembaca terhadap kelindan dinamika kesusastraan kita. Inilah 107 esai yang dihasilkan Maman selama kurang lebih 34 tahun.
Baca Juga:
Resensi Buku Her Name Is … Karya Cho Nam Joo
Tentang Peresensi:
Muhammad Ghufron adalah seorang pegiat literasi di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta dan Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga. Ia menulis esai dan resensi di pelbagai media cetak dan elektronik, seperti Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Koran Sindo, Solo Pos, Tribun Jateng, Lensasastra.id, Harakatuna.co, Maghrib.id, dan Iqra.id.
—
Ruangguru membuka kesempatan untuk kamu yang suka menulis cerpen dan resensi buku untuk diterbitkan di ruangbaca, lho!
Setiap minggunya, akan ada karya cerpen dan resensi buku
yang dipublikasikan. Kamu bisa
baca karya resensi buku menarik lainnya di sini
, ya. Yuk, kirimkan karyamu juga! Simak syarat dan ketentuannya
di artikel ini
. Kami tunggu ya~