Buku Kepalungan Budaya karya Bambang Hidayat, lebih dari sekedar buku filsuf dengan berbagai pandangan dan pendapatnya. Namun, buku ini menyuguhkan sesuatu yang lebih luas, terkait sejarah, kultur, dan masalah sosial. Tetarik untuk membaca? Simak review berikut ini dulu, yuk!
—
Di Majalah
Aku Tahu
edisi Mei, 1985, pembaca menemukan wawancara bersama Bambang Hidayat, saat di mana ia telah terkenal sebagai seorang astronom yang memimpin Lembaga Observatorium Bosscha, Lembang, Bandung. Pada kesempatan itu, Bambang menyoal pentingnya mewacanakan ilmu pengetahuan di ruang publik. Idenya memanfaatkan gedung pemerintahan maupun tempat umum seminggu sekali untuk ilmuwan dan akademisi berbagi wawasan kepada khalayak umum.
Pada masanya, mungkin gagasan itu cenderung dienyahkan banyak orang. Namun, ada makna tersirat yang ingin disampaikannya. Bahwa mereka para akademisi dan ilmuwan tak sebatas berkutat pada rumah bernama perguruan tinggi dengan sekat-sekat pembatas yang ada. Itu juga berkaitan dengan sejarah sains dan teknologi yang dimiliki oleh negeri ini. Sampai abad XXI, kita masih berdebat mengenai metode agar sains bisa sampai di publik.
Bambang adalah bagian kecil dari sedikit ilmuwan Indonesia yang mencurahkan gagasan keilmuan tak sebatas di ruang jurnal bereputasi, namun juga di media publik. Di tanggal 18 September 2022, ia memasuki usia 88 tahun. Kita tergugah membaca sebuah bukunya berjudul
Kepalungan Budaya: Batas Pengetahuan, Pemberdayaan Iptek dan Ilmuwan Masa Depan
diterbitkan Pustaka Jaya pada Agustus lalu. Kita berharap buku itu bukanlah persembahan terakhir.
Buku itu memuat kepingan tulisan berkait sejarah, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dalam berbagai dimensi ruang dan waktu. Ia punya ketekunan memaknai sebuah pertemuan dengan tulisan. Meski demikian, kalau diteliti, beberapa tulisan di dalamnya adalah pengulangan dari sekian tulisan di sebuah buku yang pernah ditulisnya,
Mosaik Pemikiran: Sejarah dan Sains untuk Masa Depan
(
Hikmah
, 2004).
Ia mengawali tulisan dengan beberapa catatan tentang sejarah masa lalu, disusul tulisan inti seputar ilmu pengetahuan dan teknologi, baru kemudian menutup dengan diskursus humaniora. Agaknya ia mengajak para pembaca untuk memaknai abad XXI tiada lain merupakan masa di mana manusia butuh kolaborasi. Ia pasti juga telah membuang jauh akan anggapan sains dan humaniora sebagai dua wilayah terpaut jauh sebagaimana dikisahkan oleh novelis dan fisikawan Inggris, C. P. Snow pada tarikh 1959.
Baca Juga:
Resensi Buku The Joy of Missing Out Karya Tanya Dalton
Memasyarakatkan ilmu dan mengupayakan manusia yang sadar ilmu pengetahuan dan teknologi mengingatkan pada sosok Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Sosok yang “ngotot” terus berusaha dan bercita-cita Indonesia harus melek iptek. Kendati demikian, sosok tersebut penuh kepungan musuh intelektual yang terus mendebat di masanya. STA tercatat dalam buku ini lewat sebuah tulisan yang disampaikan Bambang di Akademi Jakarta pada 19 Desember 2016.
Kenangnya terhadap STA tertulis: “Tetapi yang menjadi masalah, menurut STA, adalah belum adanya penerapan ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan rakyat. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni kerajinan lebih banyak berkembang di kalangan bangsawan dan pusat pemerintahan kerajaan, bukan di lingkungan rakyat banyak. Itulah jerit seorang cendekia seperti STA” (hlm. 45).
Pernyataan itu akan membawa pada rambatan terhadap situasi dan kondisi pendidikan dan bagaimana skema wacana dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara general memang Bambang mengetengahkan keberadaan universitas, tetapi di beberapa sudut tulisan, ia menyampaikan keberadaan pendidikan dasar dan peranan keluarga, yang mungkin banyak orang jarang menyadari.
Pembahasan itu setidaknya keresahan dari dalam diri terhadap Ilmu Pengetahuan Dasar (IPD) pada anak-anak. IPD meliputi rumpun keilmuan sains kealaman dan matematika. Keilmuan tersebut mendahului konsep terapan, yang secara otomatis perlu dikuasai terlebih dahulu sebagai bagian membentuk kebudayaan yang bercirikan rasional, logis, dan analitis.
Kenyataan yang terjadi kadang diabaikan oleh orang tua maupun guru. “Orangtua masih sangat kurang memberikan dorongan agar anak dapat memulai mengaktualisasikan rasa ingin tahu terhadap gejala alam yang ada di sekitar rumah. Orang tua juga masih sangat kurang menyediakan bahan bacaan yang relevan dengan pengembangan minat terhadap IPD” (hlm. 166). Kita diajak berpikir dan mengurusi perkara bacaan.
Beralih di tingkatan universitas, ia menyuguhkan tulisan dengan judul megah dan mewah,
Universitas dan Penciptaan Ilmuwan Masa Depan
. Tulisan ingin mengajak bagaimana peranan universitas tidak sebatas pada urusan teknis. Bahasan itu mengingatkan ceramah seorang astronom dan filsuf perempuan, Karlina Supelli di Studium Generale Institut Teknologi Bandung pada 25 November 2020 akan perlunya universitas kembali ke khitah, istilah yang diulang beberapa kali. Universitas memiliki peranan sebagai jembatan antara lembaga penelitian dan masyarakat.
Kenyataan tersebut tentulah harus dimaknai dengan tantangan pada zaman ini seperti halnya krisis iklim, pengikisan energi fosil, pangan, varian penyakit baru, hingga dehumanisasi atas dampak kemajuan teknologi. Di mana itu semua memerlukan keterlibatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. “Salah satu tugas sebuah universitas ialah mengecambahkan dan memajukan ilmu pengetahuan dengan melahirkan ilmu serta melatih olah pikir” (hlm. 180).
Pernyataan bernada tegas agaknya perlu untuk direfleksikan pada situasi bagaimana lembaga riset dan perguruan tinggi saat ini penuh tanda tanya. Ada sekian masalah yang terus menjalar dan menggejala. Buku ini menjadi saksi untuk membuka kesadaran bersama dari berbagai pihak bahwa di depan mata terhampar Indonesia yang perlu dipikirkan dan direfleksikan seutuhnya dengan sikap ilmiah, pikiran kritis, dan tindakan masuk akal.
Baca Juga:
Resensi Buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat Karya Mark Manson
Tentang Peresensi:
Joko Priyono merupakan seorang Fisikawan Partikelir dan Budayawan. Memiliki minat dalam penulisan dan pengarsipan. Beberapa tulisan telah tersiar di sekian media baik cetak maupun dalam jaringan. Saat ini tinggal di Kota Surakarta dan menggerakkan Lingkar Diskusi Eksakta. Beberapa buku yang telah ditulis: Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021) dan Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022).
—
Ruangguru membuka kesempatan untuk kamu yang suka menulis cerpen dan resensi buku untuk diterbitkan di ruangbaca, lho!
Setiap minggunya, akan ada karya cerpen dan resensi buku
yang dipublikasikan. Kamu bisa
baca karya resensi buku menarik lainnya di sini
, ya. Yuk, kirimkan karyamu juga! Simak syarat dan ketentuannya
di artikel ini
. Kami tunggu ya~