Karya: Edy Firmansyah
—
“Ini benar-benar tak bisa diterima! Sungguh keterlaluan! Keterlaluan!” teriak Amri di ruang tamu ambil menggebrak meja dan melempar majalah yang dibacanya ke pintu. Halimah, istrinya, yang sedang memasak di dapur siang itu kaget dan bergegas ke ruang tamu.
“Ada apa ini?! Ribut-ribut sendiri saja. Malu sama tetangga,” kata Halimah mencoba menenangkan.
“Coba kau bayangkan, sudah berbagai macam gaya aku coba. Kukirim cerita tentang dosen yang menulis tanpa kepala seperti gaya menulis Kafka, tak dimuat. Pernah juga kutulis cerita tentang sebuah dunia di mana hanya laki-lakinya yang bisa melahirkan dengan gaya Etgar Keret juga tak dimuat. Pernah juga kutulis cerita tentang perempuan yang menunggu suaminya di muka cermin tapi suaminya tak datang-datang seperti cerita seseorang yang menunggu telepon berdering seperti Dorothy Parker juga tak dimuat. Sampai ku ikuti anjuran O. Henry dalam teknik menulis cerpen seperti di cerpennya yang berjudul Musim Semi, hasilnya juga nihil. Dalam tiga bulan sudah kukirim 10 cerpen. Tapi tak ada satupun yang tembus.”
“Ke majalah ini?” Tanya istrinya sambil memungut majalah perempuan yang tadi dilempar suaminya ke pintu. Lantas meletakkannya di meja.
“Iya, majalah ini. Sepertinya redakturnya tak punya selera sastra. Dan kuduga cenderung pilih kasih. Masa yang dimuat kebanyakan pengarang ternama. Menjengkelkan!” tukasnya dengan nada geram.
“Mas saja yang kurang sabar. Bukankah semua usaha butuh kesabaran,” ujar istrinya menenangkan suaminya. Amri hanya mendengus. Seperti kerbau. Sejak ia di-PHK perusahaan media tempatnya bekerja, Amri memutuskan untuk menjadi penulis penuh waktu. Ia menulis esai dan cerpen. Untuk esai tentu saja tidak ada masalah. Beberapa media cetak menerima tulisannya. Meski honornya tak seberapa. Tapi untuk cerpen, ia baru menulis. Pemula. Sialnya, seolah nasib sial melingkupinya. puluhan cerpen telah dia buat, tapi belum ada satupun yang dimuat.
“Yang ditolak itu, coba kirim ke media lain. Media
online
. Banyak loh media daring yang kini ada rubrik cerpennya. Honornya juga lumayan. Lagipula kalau tulisanmu tidak dimuat di sebuah media, bukan berarti tulisanmu buruk, tapi tulisanmu tidak cocok dengan selera redakturnya,” terang istrinya.
Halimah sebenarnya juga seorang pengarang. Dulunya. Sewaktu masih mahasiswa. Ia menulis untuk kesenangan semata. Jadi wahana menuangkan keresahan-keresahannya pada dunia. Setelah diterima sebagai guru, ia berhenti menulis. Bukan karena tak suka, tapi kesibukannya mengajar dan menjadi ibu rumah tangga menyita banyak waktu.
Amri masih terdiam. Tatapannya kosong.
“Jadi tak perlulah terlalu dijadikan beban. Tulis saja lagi, lagi, dan lagi. Dan tulislah hal-hal yang pernah dialami Mas. Yang dekat. Dan tulislah dengan hati. Segala yang ditulis dari hati biasanya sampai juga ke hati. Omong-omong, kenapa sih, Mas ngebet banget ingin dimuat di majalah itu?” lanjut Halimah
“Honornya lumayan. Setara emas dua gram,” kata Amri.
“O, jadi perkara bayaran semata. Kupikir menulis itu soal hasrat. Kecintaan. Uang jadi urusan belakangan. Coba nanti nulis dengan tenang, jangan ambisius gitu. Dan lupakan majalah itu. Cari media lain. Media online, misalnya. Jangkauan lebih luas.”
“Kau dari tadi menasehati terus, coba kau tulis saja sendiri ceritamu, baru tahu rasa betapa peliknya mengarang,” bantah Amri.
“Ya, sudah, sudah. Jangan terus marah-marah. Pikirkan lagi saja nanti. Ayo makan es bubur kacang ijo. Aku baru bikin,” kata Halimah menenangkan Suaminya.
Keduanya kemudian berjalan ke dapur. Sesekali Amri mencubit pinggang istrinya. Di luar angin kering berhembus kencang. Menyusup ke dalam rumah melalui jendela. Debu-debu berpusing lalu menempel di meja, di lantai, di dinding. Pasangan suami istri itu makan dengan lahapnya. Sementara itu dalam kesunyian makan, kepala mereka dipenuhi rencana-rencana.
Sambil mengunyah kacang ijo, sesekali Halima menatap wajah suaminya. Terpancar kelelahan yang sangat. Sejak di-PHK karena perusahaannya tak mampu lagi mengatasi gejolak ekonomi karena pandemi korona, suaminya memang gampang kesal. Halima sebenarnya tidak masalah jika suaminya tak punya pekerjaan. Toh, gajinya sebagai pegawai negeri masih cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi Amri sepertinya tak mau hanya ongkang-ongkang kaki di antara keringat istrinya.
“Jadi penulis bisa juga kaya raya, lo,” kata suaminya membuka pembicaraan.
“O, ya? Masak sih.”
“Tentu saja. Kalau menang nobel sastra.” Keduanya lantas tertawa.
“Kapan-kapan aku akan menulis lagi, ah. Siapa tahu punya nasib baik,” kata Halima.
“Nah, gitu. Daripada terus menerus menonton sinetron televisi yang tak ada manfaatnya itu!” kata Amri kemudian menenggak air dingin. Kemudian masuk ke kamar. Menyalakan komputer. Terdengar suara keyboard beradu dengan jari-jari. Halimah sebenarnya bisa saja menyanggah. Tapi percuma menghadapi orang yang sedang kesal. Ia hanya menarik nafas panjang sambil mencuci piring.
Baca Juga:
Cerpen UFO Karya Mochamad Bayu Ari Sasmita
Amri baru saja usai mengomel sendiri karena untuk kesekian kalinya cerpen yang dikirimkan ke media lagi-lagi tak dimuat. Padahal ia sudah mengikuti saran istrinya untuk mengirimkan cerpennya ke media online. Tapi tetap saja tidak dimuat. Apa sih yang salah dengan cerita-ceritaku? Mengapa begitu sulit menemukan jodohnya di hadapan redaktur media?
Saat segala tanya terus menumpuk di kepala, mendadak ia melihat istrinya berjalan menuju rumah. Istrinya datang membawa banyak belanjaan dan sebuah majalah perempuan edisi baru yang dulu pernah dilemparnya.
“Tumben belanja banyak. Gajian kan masih dua minggu lagi.”
“Cerpenku dimuat, Mas. Nih majalahnya. Honornya memang lumayan,” ujar Halimah sambil menunjukkan majalah itu pada Amri. Senyum masih terus mengembang. Pipinya jadi kelihatan seperti apem matang.
“Kamu? Menulis cerpen? Kapan menulisnya?” Amri penasaran. Sebab di rumah ia tak melihat istrinya mengetik sesuatu. Setiap di rumah istrinya hanya memeriksa tugas-tugas muridnya.
“Aku mencoba menulis di
smartphone
. Sehari satu dua paragraf. Kadang di angkot. Kadang di sekolah saat menunggu jam mengajar di kelas berikutnya. Yang kutulis sederhana, kok, Mas. Ya, soal marah-marah Mas karena tak kunjung dimuat itu yang kujadikan cerpen.”
“Sesederhana itu? Dan dimuat?”
Halimah mengangguk. “Bukankah keindahan selalu bermula dari kesederhanaan. Jadi mengapa harus merumit-rumitkan diri dengan meniru jika kejadian di sekitar kita justru adalah bahan bagi semesta cerita.”
Amri menarik napas panjang. Ia kemudian beranjak dari kursi. Masuk ke kamar. Menyalakan komputer.
“Website ruangguru sekarang ada rubrik cerpennya. Coba saja, Mas, kirim ke sana. Juga ada honornya,” teriak Halimah dari dapur. Amri tidak menjawab. Hanya suara
keyboard
beradu dengan jari-jarinya makin nyaring terdengar. Halimah hanya bisa geleng-geleng kepala.
Baca Juga:
Cerpen Benang Layangan Karya Moh. Afaf El Kurniawan
Tentang Penulis:
Edy Firmansyah
Menulis dua buku kumpulan cerita pendek;
Selaput Dara Lastri
(IBC, 2010) dan
Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon
(Cantrik Pustaka, 2021). Kini sedang menyiapkan buku kumpulan cerpen ketiganya.
—
Ruangguru membuka kesempatan untuk kamu yang suka menulis cerpen dan resensi buku untuk diterbitkan di ruangbaca, lho!
Setiap minggunya, akan ada karya cerpen dan resensi buku
yang dipublikasikan. Kamu bisa
baca karya cerpen menarik lainnya di sini
, ya. Yuk, kirimkan karyamu juga! Simak syarat dan ketentuannya
di artikel ini
. Kami tunggu ya~