Buku Keep The Aspidistra Flying merupakan kisah klasik yang ditulis oleh George Orwell, menyuguhkan rangkaian kritik dan sinisme terhadap sistem kapitalisme. Tertarik untuk membaca? Simak review berikut ini dulu, yuk!
—
Alkisah ada seorang penyair muda dengan segala idealisme dalam dirinya. Berpenampilan urakan dan membenci segala bentuk kemapanan, tapi sesekali tampil necis tak peduli kantung melulu tipis. Bahkan rela meninggalkan pekerjaan dengan gaji lumayan agar tak terjerumus lingkaran setan “dewa uang” yang baginya terlampau picik dan kapitalistik.
Penyair muda itu bernama Gordon Comstock. Pernah dipuji oleh beberapa surat kabar sebagai “penyair yang menjanjikan”, ia telah menerbitkan dua buku kumpulan puisi yang tak terlalu dikenal publik luas sepanjang karier kesusastraannya.
Tetapi sejatinya ia hanyalah penyair medioker dan pujian terhadapnya tak lebih dari isapan jempol belaka. Dan seperti kebanyakan penyair medioker lainnya, ia kerap menganggap ketidak beruntungannya di kancah kesusastraan dikarenakan pengaruh kuasa-kuasa yang tak dapat ia jangkau; khususnya kuasa “dewa uang” di dunia yang teramat kompleks ini.
Sehingga sehari-hari ia hanya bisa merutuki kuasa tersebut seraya menentangnya. Dalam hal ini, ia bahkan rela meninggalkan pekerjaannya sebagai
copywriter
di perusahaan iklan Inggris, New Albion, dengan gaji tiga
pound
seminggu sambil beranggapan bahwa dirinya masih bisa berpenghasilan dengan menulis puisi dan mengirimkan puisinya ke berbagai media sekaligus demi menuruti gaya hidup yang ia anggap lebih ideal ketimbang gaya hidup mapan bagi kebanyakan orang.
Tentu saja, Gordon Comstock adalah tokoh fiktif belaka. Begitu pula perusahaan periklanan New Albion tempatnya bekerja. Kisah Gordon dan segala caci makinya terhadap kehidupan dan segala yang berkaitan dengan “dewa uang”, juga tentang karier kepenyairan sekaligus persahabatan dan percintaannya tersebut dapat kita baca dalam novel
Keep The Aspidistra Flying
gubahan George Orwell.
Sejak diterbitkan di Inggris pada 1936, novel itu kini bisa kita baca dalam bahasa Indonesia usai diterjemahkan oleh Anton Kurnia (Penerbit Bentang, 2021). Dan terjemahan ini, menambah lagi satu daftar karya Orwell yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia setelah novel
Animal Farm
,
1984
,
Burmese Days
,
Homage to Catalonia
,
Down and Out in Paris and London
, hingga kumpulan esainya,
How The Poor Die
, telah akrab di kalangan pembaca kita dengan masing-masing kelebihan dan kekurangannya.
Baca Juga:
Resensi Buku Jodoh Karya Fahd Pahdepie
Boleh dibilang, selain
Down and Out in Paris and London
yang berkisah tentang pengalaman Orwell jatuh miskin saat berada di Paris dan Inggris,
Keep Aspidistra Flying
adalah juga novel otobiografi Orwell. Hanya saja, dalam novel ini Orwell berkisah menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu, berlainan dengan prosa
Down and Out in Paris and London
yang ditulis dengan sudut pandang orang pertama.
Namun demikian, dalam konteks sudut pandang penceritaan ini pun masih terdapat ambiguitas. Sebab seakan-akan tak ada keterpisahan antara suara tokoh Gordon dengan suara narator yang acap-kali dengan semena-mena menghakimi perangai tokoh Gordon pada narasi-narasi di novel ini, bahkan sejak halaman awal. Sehingga tak berlebihan jika kita katakan bahwa tokoh Gordon adalah manifestasi diri pengarangnya; lihat saja bagaimana Orwell merutuki pengalaman dan/atau kenangan dalam hidupnya.
“Dia berhenti, mengeluarkan kepingan uang tiga sen yang menyedihkan dan menatapnya. Betapa buruk, barang tak berguna! Sungguh bodoh dia mengambilnya! (halaman 1).
Tentu bukan hal baru ketika seorang pengarang mengarang kisah yang berangkat dari pengalaman individunya. Di belahan Eropa lainnya, beberapa dekade sebelum Orwell, misal, pengarang Norwegia, Knut Hamsun pun pernah menulis novel
Sult
(yang diterjemahkan menjadi
Lapar!
) yang berkisah tentang pengalaman pribadi Knut sebagai pengarang.
Bukan tanpa alasan saya mengambil novel
Slut
sebagai perumpamaan dari sekian banyak novel yang bercerita tentang “pengalaman seorang pengarang” (atau dalam kasus ini lebih tepatnya pengalaman hidup miskin seorang pengarang). Sebab, terlampau banyak kemiripan yang saya temukan antara novel tersebut dengan
Keep Aspidistra Flying
; tokoh Gordon sama rudin sekaligus borosnya dengan tokoh Aku dalam
Slut
; nasib percintaan Gordon dengan tokoh Rosemary yang dalam beberapa kasus amat mirip dengan kisah percintaan tokoh Aku dalam
Slut
; hingga peranan tokoh
Komandan
dan Ravelston selaku redaktur majalah yang tanpa mereka maka baik tokoh Aku dan Gordon tak akan bisa melanjutkan hidup dan meneruskan karier kesusastraan (di mana mereka banyak membantu dalam urusan penerbitan sekaligus honorarium karya tiap-tiap tokoh).
Terlepas dari kemiripan tersebut, fakta menarik—namun tak mengejutkan—dalam
Keep Aspidistra Flying
, selain ditulis dengan narasi-narasi yang memikat sekaligus padat dan sarat sindiran politis serta humor gelap yang autentik—selaiknya ciri khas tulisan Orwell yang kita kenal—yakni akan kita temukan fragmen-fragmen pemikiran Orwell yang kemudian menjadi premis karya-karya lainnya. Kendati, novel ini bukan karyanya yang pertama kali diterbitkan.
Seperti pandangan hidup Gordon yang cenderung mengamini nilai-nilai sosialisme dan tercermin melalui keberpihakannya terhadap kaum miskin yang teralienasi di tengah masyarakat kapitalis, namun dirinya tetap enggan disebut sebagai sosialis, misal.
“Oh, sosialisme! Jangan bicara padaku tentang sosialisme.” (hlm. 102)
Yang kemudian empat tahun setelah terbitnya novel ini, kita tahu, Orwell menulis,
My Country Right or Left
, yang membahas persoalan tersebut lebih komprehensif. Pun, pada 1945, terbit sebuah novel alegori politik yang menjadi mahakaryanya,
Animal Farm
, yang juga berangkat dari premis tersebut.
Pada akhirnya, dengan membaca kisah Gordon atau berbagai karangan tentang pengarang, kita dapat mencerap banyak manfaat sekaligus kenikmatan. Sebab seperti puisi, paling tidak bagi saya, karangan prosa baik yang berbentuk fiksi dan non-fiksi yang berangkat dari perenungan para pengarangnya pun, memiliki
ars poetica
-nya tersendiri. Dan, tak jarang memberikan kita kenikmatan pengalaman estetis yang turut membawa kita pada permenungan-permenungan lain tentang segala hal-ihwal di dunia yang jembar ini. Demikianlah. (*)
Baca Juga:
Resensi Buku Marti & Sandra Karya Seno Gumira Ajidarma
Tentang Peresensi:
Mohammad Lutfi Maula. Lahir di Jakarta 08 Februari 2000. Mahasiswa filsafat UIN Banten. Pembaca buku. Kini bermukim di Serang, Banten.
—
Ruangguru membuka kesempatan untuk kamu yang suka menulis cerpen dan resensi buku untuk diterbitkan di ruangbaca, lho!
Setiap minggunya, akan ada karya cerpen dan resensi buku
yang dipublikasikan. Kamu bisa
baca karya resensi buku menarik lainnya di sini
, ya. Yuk, kirimkan karyamu juga! Simak syarat dan ketentuannya
di artikel ini
. Kami tunggu ya~