Karya: Moh. Afaf El Kurniawan
—
“Ceritakan padaku sesuatu yang mungkin telah lama hilang. Sesuatu yang bagi usia pria sepertiku pantas untuk tahu.” Pinta seorang anak kepada ibunya.
Seperti ada benda yang menusuk ingatan ibunya, seketika ia kaget mendengar ucapan itu. Ingatan yang selama ini berusaha ia pendam sedalam mungkin agar tak seorang pun dapat mencium baunya. Namun, kini ingatan itu seakan mulai mekar kembali, setiap sore. Menjadi sekawanan mawar hitam yang tumbuh di taman.
Kegelisahan tampak dalam diri ibunya, sedangkan pada mata anaknya terpancar cahaya keingintahuan yang amat besar. Kehidupan di masa lalu telah menjadi hantu setiap kali ibunya mendapati matahari berada di sebelah barat. Dan permintaan anaknya itu, adalah musim kemarau, jembatan, semak-semak
songai
1
, lapangan, benang layangan, rotan, serta
arek
2
yang memenuhi kepalanya.
“Baiklah, Nak! Barangkali sudah waktunya untuk kau tahu tentang kehidupan di masa lalu yang belum pernah ibu ceritakan. Anakku, pasti kau masih bertanya-tanya mengapa kita seakan tidak memiliki sanak famili dari garis ibu selain keluarga paman Junetmu. Meski ibu pernah menyebut satu persatu nama saudara kita, tapi kau tak pernah bertemu dan berkunjung ke rumahnya. Mungkin kau masih meragukan hal itu. Tapi percayalah, Nak, ibu tak sampai hati bila membohongi putranya sendiri.”
Ibunya pun mulai bercerita:
Nak, dulu di kampung, pria seusiamu sudah belajar mengelola sawah, membajak, memacul, mengaliri air di malam hari serta mahir menyabit rumput. Tapi kau tidak melewati fase itu karena peristiwa yang akan kau dengar ceritanya. Mungkin dengan begitu akan sedikit menebus kesalahan masa lalu kami pada anak cucu.
Waktu itu musim kemarau. Kami bertiga setiap sore bermain layangan di lapangan kecamatan. Kami menyebutnya lapangan
lao’
3
songai
karena memang lapangan tersebut berada di sebelah selatan sungai dari tempat kami tinggal. Sore itu, ibu, Sam, dan paman Junetmu berangkat ke lapangan bersama kakekmu dan Paman Bahar, ayah Sam. Kebetulan tempat mereka menyabit rumput searah dengan tempat kami bermain layangan. Kami berpisah sebelum sampai di jembatan yang menghubungkan antara penduduk
jeh
4
songai
dan
lao’ songai.
1
Songai = Sungai
2
Arek = Celurit
3
Lao’ songai = Lao’ (selatan) songai lao’ songai (selatan sungai)
Baca Juga:
Cerpen Bendera Karya Jelsyah Dauleng
Setiap kemanapun akan pergi,
oreng towa
5
kami selalu mengingatkan Sam dan Junet untuk menjaga dan melindungiku, selain karena aku seorang perempuan, aku yang termuda di antara mereka.
Tidak seperti biasanya, sore itu angin berhembus sedikit lebih kencang sementara di lapangan hanya terdapat beberapa anak seusia kami yang bermain layangan. “Tidak apa-apa malah lebih baik sedikit. Kita bisa menerbangkan layangan sesuka hati,” ucap pamanmu.
Semua yang bermain layangan menikmati setiap permainan, tanpa terkecuali kami bertiga. Sesekali pamanmu yang usil membujukku dengan nada bercanda, dia ingin memotong rambutku yang panjang untuk dijadikan benang agar layangannya semakin terbang tinggi. Sam hanya tertawa mendengar perkataan Junet.
Junet memang seperti itu, bertingkah aneh dan sering membuat orang-orang tertawa karena ulahnya. Persis seperti almarhum ayahnya yang seorang komedian ulung di kampung. Dulu, ayahnya meninggal akibat terkena ilmu hitam. Kata tetangga, ada seseorang yang dendam karena tersinggung ucapannya.
“Sam ulurkan benangmu angin tak sekencang tadi,” teriak pamanmu. Betapa indahnya sore itu, Nak, menyaksikan layang-layang terbang dengan sedikit mengernyitkan mata karena silau matahari. Ada yang meliuk-liuk serupa ular karena memiliki ekor yang panjang, ada juga yang hanya bergerak ke kanan dan ke kiri, kadang meninggi terkadang juga rendah lalu meninggi lagi.
Sepuluh menit pertama angin berhembus tenang. Sepuluh menit kemudian angin tambah kencang. Menit selanjutnya hembusan angin memutus benang layangan. Ya, Nak, kesenangan yang kami dapatkan sore itu berujung pada hal yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya.
Akibat hembusan angin kencang, benang layangan milik salah seorang anak mengenai benang layangan Sam. Sam berusaha menghindar dengan cara menarik-ulurkan sisa-sisa benang yang ada di gulungan. Naasnya, nasib buruk menimpa anak itu. Benangnya putus dan layangannya semakin tinggi tak terkejar. Sempat terjadi cekcok antara mereka, sebelum akhirnya pamanmu beserta teman-teman yang lain melerai.
Ibu tidak tahu siapa nama anak itu. Mungkin dia pendatang baru. Sore itu kali kedua ibu melihat dia bermain layangan. Cara berpakaiannya berbeda dengan kami. Kaos dan celananya, semua terlihat mengkilap. Bahkan kami dapat mencium bau minyak rambutnya yang dibawa angin.
4
Jeh/dhajeh = Utara
5
Oreng towa = Oreng (orang) towa (tua) oreng towa (orang tua kandung)
Seperti tidak terjadi sesuatu, mereka kembali bermain layangan. Tapi tidak dengan ibu. Setelah kejadian itu, ibu merasa khawatir. Mengajak Sam dan Junet untuk lebih baik pulang. Tapi pamanmu menolak. “Hari masih terang dan bukankah kamis malam kita tak perlu ngaji ke langgar? Kita punya alasan untuk pulang lebih lambat dari biasanya,” ucap pamanmu.
Andai mereka mengikuti saran ibu, barangkali nasib kita tidak akan seperti sekarang. Ya, Nak, peristiwa itu terjadi begitu cepat. Seperti kilat.
Hari semakin sore, ibu sesekali melirik jam tangan yang Sam gunakan. Tidak terlalu jelas, tapi sepenglihatan ibu sekitar pukul setengah lima. Biasanya kami mulai menggulung benang layangan dan bersiap untuk pulang.
Belum juga ibu mengingatkan mereka, seorang lelaki datang dengan suara lantang. Menanyakan siapa penyebab benang layangan anaknya putus. Semua yang ada di lapangan kaget mendengar suara yang datang tiba-tiba. Dari pinggir lapangan, orang itu berjalan ke arah kami dengan sebatang rotan di tangan. Tidak terlalu panjang tetapi berdiameter lebih besar dari yang pernah ibu lihat.
“Turunkan semua layangan,” perintah orang itu dengan nada suara lebih tinggi dari sebelumnya. Semua layangan segera kami turunkan. Tidak ada yang berani melawan. Sebab kami diajarkan untuk tidak melawan perintah orang yang lebih tua.
Orang itu berjalan semakin dekat ke arah kami, tepatnya ke arah ibu dan Sam. Ibu yang berada di dekat Sam waktu itu, melihat wajahnya mulai pucat ketakutan. Tangannya gemetar saat menggulung benang, sedangkan Junet mempercepat gulungan layangannya sembari jalan setengah lari ke arah kami.
Pamanmu itu merupakan yang tertua di antara ibu dan Sam. Biasanya kalau terjadi sesuatu ia akan segera datang melindungi. Tapi tidak untuk sore itu. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya berada di dekat ibu dan menggantikan Sam menyelesaikan gulungan benangnya.
Baca Juga:
Cerpen Volume Kubus Sama dengan Luas Alas Kali Tinggi Karya Mochamad Bayu Ari Sasmita
Sampai juga orang itu di hadapan kami, berdiri persis seperti polisi yang sering menakut-nakuti di persimpangan jalan. Tubuhnya agak besar tapi tidak kekar. Ototnya lembek, mungkin tidak pernah mengayunkan pacul atau membajak sawah. Kulitnya terlihat terang dan bersih. Tapi waktu itu kenapa di antara kami tidak ada yang berani untuk melawan.
Semua yang bermain layangan diminta untuk berkumpul dan melingkar. Persis seperti kesebelasan sepak bola yang hendak memulai pertandingan. Tapi bukan kesenangan dan kekompakan layaknya pesepak bola yang kami dapat, melainkan sesuatu yang tidak akan pernah kami lupakan hingga akhir hayat.
Sekarang akuilah siapa penyebab putusnya benang layangan anak saya? Tanya orang itu tegas. Semua masih terdiam tak memberikan jawaban. Karena memang tidak ada yang salah dalam hal ini. Paling tidak begitulah pembelaan ibu dalam hati.
Dari raut wajahnya, orang itu kian marah. Menatap kami satu persatu seperti mata harimau mengincar anak kijang. Sesekali dia pukulkan rotan ke telapak tangannya, seperti membuat perhitungan. Tak ada yang berani menatapnya. Semua tertunduk, kami hanya dapat melihat rerumputan kering dan tanah retak di sela-sela kaki. Berharap kami temukan cara agar bisa secepatnya pulang. Sebab hari makin sore
,
kami tak ingin
oreng towa
merasa khawatir karena kami tak kunjung datang.
Hingga akhirnya Agus menjelaskan dengan nada sedikit terbata-bata. “Aangin kencang membuat benang layangan anak Bapak tersangkut bbbenang layangan Sam dann aaakhirnya putus,” ucupnya. Kau tahu, Nak, Agus yang sekarang jadi wakil rakyat itu? Yang sering muncul di layar televisi karena kasus yang menyeret namanya. Dia dulu teman bermain kami. Orangnya baik dan sering membagikan makanan setiap kali bapaknya baru pulang dari luar kota.
Ibu kira, setelah Agus memberikan penjelasan, permasalahan selesai dan kami bisa pulang. Berlari sekencang-kencangnya. Berjibaku dengan waktu agar secepat mungkin tiba di rumah dan menghilangkan kekhawtiran
oreng towa
. Namun kenyataannya tidak begitu. Semua boleh pulang, kecuali Sam.
Tentu jadi masalah baru bagi ibu, Sam, dan Junet. Dari kecil kami selalu berangkat bersama, pulang pun harus demikian. “Kenapa kalian berdua masih di sini? Cepat pulang!” Perintah orang itu. Bahkan kami tidak diperbolehkan menunggu Sam di pinggir lapangan. Tapi kami harus pulang bersama. Ibu dan pamanmu tidak berani menanggung risiko dan menerima pertanyaan kenapa Sam tidak pulang bersama? Karena kami tahu apa yang akan dikatakan
oreng towa
serta saudara-saudara kami setelah kami memberikan jawaban.
Akhirnya kami menunggu di jembatan. Duduk bersandar pada besi pembatas. Memandangi dedaunan hanyut dibawa arus sungai. Dalam benak ibu timbul pertanyaan, “kenapa kami harus takut dan tak berani melawan? Bukankah semak belukar di
onjur
songai
6
lebih menakutkan ketimbang tatapan orang itu?”
Dari arah utara kakekmu dan paman Bahar datang. Mereka berjalan sangat cepat. Kakekmu membawa
arek
sedang paman Bahar sesekali mengibaskan
peccot
7
di tangannya. Kira-kira begitulah cara
oreng towa
menegur dan memarahi kami apabila berbuat salah. Mereka datang dengan wajah marah bercampur khawatir. Sebelum kena marah dan pecut mendarat di kedua betis, kami segera lari mendatangi mereka. Menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Kami diminta untuk menunggu di jembatan. Cukup Paman Bahar seorang diri pergi kelapangan dengan
arek
yang kakekmu berikan padanya. Untuk jaga-jaga, saran kakekmu.
Selama menunggu Paman Bahar dan Sam, tak ada sepatah katapun yang terucap. Semua membisu. Hanya desir angin dan riak
songai
yang dapat telinga kami tangkap. Tapi dalam hati ibu masih tidak terima dan bertanya-tanya, kenapa harus Sam? Setiap orang yang mengenalinya akan beranggapan sama. Penyabar, baik hati, murah senyum, dan selalu mengalah.
Buah jatuh tak jauh dari pohon, begitulah kata orang-orang setiap membicarakan Sam. Tapi sore itu, Nak, kali pertama ibu melihat kemarahan paman Bahar yang luar biasa. Ibu ingat betul, tatapan mata, hembus nafas, genggaman tangan pada gagang
arek
, juga langkahnya ketika beranjak meninggalkan kami.
“Anakku, ingat baik-baik. Kesabaran seseorang memiliki batas kewajaran. Seperti sungai di belakang rumah kita. Jika deras hujan terus menerus mengguyur tanpa henti, banjir pasti melanda kampung ini. Begitulah kesabaran seseorang jika sudah tak terbendung. Bencana akan terjadi.”
6
Onjur songai = onjur (hilir) onjur songai (hilir sungai)
7
Peccot = Pecut
Baca Juga:
Cerpen Cerek Talise Karya Nadhila Hibatul Nastikaputri
Anak itu hanya mengangguk. Ibunya kembali melanjutkan ceritanya:
Tidak butuh waktu lama kami menunggu. Di tengah keremangan hari dan sayup suara adzan dari surau-surau, Sam beserta Paman Bahar berjalan cepat mendatangi kami. Sam dengan tangis dan layangan yang penuh sobekan. Paman bahar dengan peluh serta
arek
berlumur darah di tangannya.
Malam itu juga, setelah pintu rumah Paman Bahar tertutup rapat. Keluarga besar kami berkumpul menjadi satu. Mencari jalan keluar atas apa yang telah terjadi. Ibu, Sam, serta Junet tidak diperbolehkan berada di ruang tamu. Kami diperintahkan untuk berada di dalam kamar. Entah apa saja yang mereka bicarakan, ibu hanya tahu bahwa kami harus meninggalkan kampung saat itu juga.
Dengan cepat seluruh keluarga besar kami mengepak barang-barang, sementara kakekmu dan Paman Bahar mengeluarkan tiga ekor sapi di kandang untuk mereka jual.
Agar tidak timbul kecurigaan di benak tetangga, satu persatu dari keluarga kami meninggalkan rumah. Kami sepakat untuk bertemu di
oloh
songai
8
yang dekat dengan jalan raya itu. Untuk sampai ke
oloh
, kami jalan kaki sekitar satu jam lamanya. Di sana kakekmu dan Paman Bahar menunggu dengan jasa angkutan yang mereka sewa untuk membawa kami ke sebuah terminal.
Di terminal, keluarga besar kami berpisah malam itu. Paman Bahar beserta keluarganya naik bus dengan rute ke arah barat. Junet dan ibunya memilih untuk bersama kami ke arah utara. Butuh waktu dua hari untuk kami sampai ke tempat ini. Ya, Nak, tempat yang kita diami saat ini. Sebelum sampai ke tempat ini, kami menempuh perjalanan darat dan laut.
“Anakku, tiga puluh dua tahun yang lalu kami hidup bersama. Bahu membahu dalam mengarungi nasib. Tapi setelah sore itu, setelah kejadian yang menjadi rahasia besar keluarga. Kami terpisah bagai layangan putus dari benangnya.”
Setelah mendengar cerita dari ibunya, anak itu terdiam lama. Matanya menatap lekat sebuah foto lusuh di dinding ruang tamu. Terpampang wajah masa kecil ibu dan paman Junetnya. Ada juga kakek dan neneknya, juga barangkali orang-orang yang ada dalam cerita itu.
8
Oloh songai = oloh (hulu) oloh songai (hulu sungai)
Baca Juga:
Cerpen Gadis Kecil di Tepi Jalan Karya Mustoifah
Tentang Penulis:
Moh. Afaf El Kurniawan,
akrab disapa Iwan, lahir di Sumenep beberapa tahun silam. Pernah bergiat di Susastra dan aktif di lingkaran Muda, Liar, Ngantukan.
—
Ruangguru membuka kesempatan untuk kamu yang suka menulis cerpen dan resensi buku untuk diterbitkan di ruangbaca, lho!
Setiap minggunya, akan ada karya cerpen dan resensi buku
yang dipublikasikan. Kamu bisa
baca karya cerpen menarik lainnya di sini
, ya. Yuk, kirimkan karyamu juga! Simak syarat dan ketentuannya
di artikel ini
. Kami tunggu ya~