Tim Blog Ruangguru turut berduka atas berpulangnya negarawan dan tokoh bangsa yang jenius, Prof Dr. Ing H. B. J. Habibie. Tulisan ini pernah ditulis pada Juni 2018 yang kemudian diangkat kembali untuk memberikan penghormatan kepada beliau.
—
Bacharuddin Jusuf Habibie atau yang lebih dikenal dengan BJ Habibie merupakan presiden Indonesia ke-3 yang telah mengharumkan nama bangsa dengan kecerdasan yang dimiliki. Tidak hanya dikenal sebagai mantan presiden, tapi beliau adalah salah satu sosok jenius dari tanah air yang namanya mendunia.
Sejak kecil, kegemarannya akan membaca sudah terlihat. Si ahli pesawat terbang ini enggan keluar bermain seperti anak-anak pada umumnya. Beliau betah berlama-lama ada di rumah menghabiskan waktunya untuk membaca buku. Sampai suatu ketika, mami—panggilan Habibie pada ibunya—R. A. Tuti Marini Puspowardojo, menyuruhnya keluar rumah karena Habibie kecil terlalu asyik belajar. Biasanya malah orangtua kita repot menyuruh kita untuk belajar ya, Squad?
Hehe.
Setelah papi—panggilan Habibie ke ayahnya—, Alwi Abdul Jalil Habibie meninggal karena serangan jantung tahun 1950, Habibie melanjutkan sekolah ke Bandung. Keputusan ini diambil mami, yang benar-benar mengikuti pesan sang suami perihal pendidikan anak-anaknya. Setelah berpikir panjang, akhirnya mami memutuskan untuk mengirim Habibie ke pulau Jawa. Berada jauh, hingga beda pulau dengan anak sendiri, terbayang
‘kan
betapa sulitnya?
Sejak masa kecilnya, Habibie telah menunjukkan minat dan bakatnya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya pelajaran
fisika
. Masa SMP dihabiskan di SMP 5 Jalan Jawa, Bandung. Kemudian, dilanjutkan ke SMAK Dago yang dulu dikenal dengan nama Lycium.
Sewaktu SMA, Habibie dikenal sebagai sosok yang pintar dalam mata pelajaran eksakta seperti mekanika,
matematika
, dan lainnya. Beliau bukan tipe yang suka belajar jauh-jauh hari sebelum waktu ujian,
lho
. Uniknya, ketika ada ujian mendadak, selalu mendapat nilai paling baik. Bahkan, jika waktu ujian 50 menit bisa dipakai untuk menjawab 30 soal oleh siswa lain, Habibie hanya memerlukan 20 menit untuk selesaikan semua. Cerdas sekali, bukan? Namun beliau tidak sombong karenanya, justru sangat akrab dengan teman-temannya.
Lulus SMA, tahun 1954 beliau melanjutkan kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Teknik Mesin. Sebelum menyelesaikan kuliahnya di ITB, enam bulan kemudian akhirnya Habibie mengambil keputusan untuk melanjutkan studinya di Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule Jerman. Berbekal dorongan semangat dan tunjangan finansial dari mami, berangkatlah beliau ke sana. Di saat inilah pertama kalinya beliau naik pesawat! Sebenarnya beliau sangat berberat hati meninggalkan Indonesia. Selain jauh dari keluarga, harus berpisah juga dengan teman-teman dan kekasihnya saat itu. Namun hijrahnya ini dilakukan demi sumpah mami pada mendiang papi untuk menyekolahkan ke jenjang pendidikan tertinggi semampunya. Mami menggunakan tabungan yang dimilikinya demi membiayai sekolah Habibie di Jerman. Bahkan, sampai mendirikan perusahaan yang bergerak dalam ekspor impor dengan koneksi seadanya.
Selama di Jerman, tepatnya di Aachen, Habibie benar-benar menjalani kuliah dengan tekun. Pilihannya hanya dua, harus lulus ujian, atau bekerja mencari uang. Jika keduanya gagal, jelas akan merugi. Sia-sia sudah keluarganya bersusah payah bekerja keras membanting tulang di Indonesia demi menyekolahkan beliau. Oleh sebab itu, sebagai bentuk tanggung jawab, setiap tahun beliau menargetkan bisa lulus di semua mata kuliah. Pria yang gaya bicaranya khas ini tidak pernah bolos kuliah. Beliau disiplin dan tepat waktu sehingga dijadikan panutan oleh teman-teman kuliahnya.
Dibandingkan dengan 99% mahasiswa Indonesia yang belajar di Eropa, Habibie adalah salah satu yang mendapat tunjangan dari orangtua. Selebihnya? Mereka mendapat uang dari negara. Paspor mereka juga adalah paspor dinas RI dengan total beasiswa yang mungkin sangat banyak. Berbeda dengan Habibie, yang paspornya swasta biasa dan murni biaya sendiri.
Musim liburan bukanlah waktunya berleha-leha bagi beliau. Justru kesempatan emas yang harus diisi dengan ujian dan mencari uang untuk membeli buku. Beliau tidak ingin hidup berfoya-foya seperti teman-temannya yang punya beasiswa. Oleh karena itu, beliau mengambil kelas musim panas dan belajar. Semua dilakukan demi orangtua. Patut dicontoh
nih
, Squad.
Di masa perkuliahan, acara budaya di kampus banyak dilaksanakan oleh beliau. Beliau turut memperkenalkan pementasan budaya Indonesia di berbagai acara. Bahkan, menampilkan pentas budaya di Indonesia di beberapa kota kecil di Jerman. Oh ya, beliau pernah menarikan tari payung dan berpasangan dengan salah satu teman wanitanya. Jadi, teman wanitanya itu dibisiki gerakan apa selanjutnya.
Wah
, ternyata kemampuan menarinya boleh juga ya!
Selain berorganisasi, Habibie muda dikenal ramah dan akrab. Bukan hanya pada teman-teman dan kalangannya saja. Hal ini dibuktikan dengan seringnya beliau berinteraksi dengan penjual dan penyapu jalan di sepanjang jalan antara kampus dan tempatnya tinggal.
Psst
, beliau bisa sampai duduk bersama mereka di trotoar
lho
untuk sekadar mengobrol!
Belajar membuat pesawat ini bukan persoalan mudah, melainkan rumit dan kompleks. Tidak hanya belajar
aerodynamics, balance
, atau
machine
, tapi juga masih banyak hal lain.
Nah
, tahun 1958, tahun terakhirnya di jenjang S1, beliau menjadi inisiator Seminar PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) se-Eropa. Di pertemuan inilah seluruh mahasiswa yang belajar di Eropa berkumpul, membahas permasalahan Indonesia dan menemukan solusinya. Beliau juga menyelenggarakan seminar besar selama 5 hari berturut-turut. Namun sayangnya, demi mengadakan seminar tersebut, beliau sempat sakit parah. Saking parahnya, beliau sempat dimasukkan ke kamar mayat seakan-akan tidak ada harapan lagi untuk bertahan hidup. Di keadaan sekronis itu, beliau masih sempat membuat salah satu puisi berjudul “Sumpahku!!!” yang berisi kekesalannya. Beliau merasa belum bisa mengabdikan dirinya demi negaranya. Betapa besar cintanya pada Indonesia, Squad.
Singkat cerita, Habibie berhasil menyelesaikan studi S1 dan S2 di Jerman. Setelah lima tahun lamanya menuntut ilmu di Jerman, Habibie lulus sebagai diploma teknik Jerman bidang desain dan konstruksi pesawat terbang. Gelar ini setara dengan gelar Master (S2) di negara lain.
Tidak lama sehabis lulus S2, beliau menikahi Hasri Ainun Besari, teman SMA-nya pada tahun 1962. Pada saat itu, Ainun bergelar dokter dan bekerja di sebuah rumah sakit daerah Jakarta. Ainun rela meninggalkan pekerjaannya demi mengikuti suami membangun karier di Jerman. Ini semua tentu berkat rasa cinta dan pengabdiannya. Di masa ini kegigihan Habibie dan kesetiaan cinta Ainun diuji. Mereka tinggal di apartemen kecil. Habibie sebagai pencari nafkah untuk biaya hidup sekaligus biaya studi S3-nya. Pasangan harmonis ini dikaruniai dua orang putra bernama Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie
.
Sehabis menyelesaikan jenjang S3, beliau bekerja di sebuah perusahaan penerbangan Jerman. Perusahaan tersebut bernama Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB). Selama bekerja di sana, beliau sangat tegas, namun tetap menjaga hubungan baik antara atasan dan bawahan. Untuk hal yang bersifat prinsipil, beliau rela adu argumen dan pantang menyerah membela apa yang dianggap benar. Di MBB, beliau sempat mencetuskan beberapa teori penting yang digunakan dalam ilmu penerbangan dunia. Seperti halnya termodinamika, konstruksi, serta aerodinamika. Beberapa rumusan teori yang terkenal dalam dunia desain dan konstruksi pesawat terbang adalah
Habibie Fact
,
Habibie Method
, dan
Habibie Theorem
. Semua riset dilakukan hanya untuk memajukan industri penerbangan, terutama Indonesia. Beliau juga membina kader penerus bidang teknologi pesawat terbang di tahun 1968. Putra-putra Indonesia dimasukkan untuk dididik menjadi teknisi penerbangan di MBB.
Beliau diangkat menjadi penasihat pemerintah di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi di tahun 1974-1978. Kembali dari Jerman tahun 1974, suami dari Ibu Ainun ini mengutarakan janjinya untuk memajukan teknologi penerbangan sekitar. Janji ini diuktikan dengan kesuksesan belaiu membangun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di tahun 1986. Juga, Laboratorium Pusat Penelitian dan Ilmu Pengtahuan (Puspitek), sekaligus mengetuai keduanya.
Seluruh kesuksesan ini diraih beliau sebelum usia 40 tahun
lho
! Ini menjadikannya sebagai salah satu orang terpandang di Jerman. Selama berkarier, Habibie tidak pernah memikirkan ejekan orang terhadap dirinya. Meskipun sempat mengalami
bullying
, ketika muda, beliau tidak membuang waktunya untuk menanggapi orang-orang yang memperlakukannya dengan kurang baik. Beliau selalu mengingat pesan sang papi untuk menjadi mata air yang bisa memberi kehidupan dan sumber kejernihan bagi orang di sekelilingnya. Beliau bukan sosok yang jenius, sama seperti kita. Kerja keras dan integritas adalah kunci sukses dalam segala hal.
Sekian dulu kisah inspiratif Habibie yang bisa
Ruangguru
bagikan kepada kamu. Kamu ingin mengikuti jejak Habibie? Persiapkan diri kamu dari sekarang dengan belajar bersama
ruangbelajar
sehingga #BelajarJadiMudah!