Buku ‘Berapa Harga Nyawa Hari Ini?’ memuat cerpen-cerpen Eko Triono yang mengangkat tema sosial melalui fenomena hidup. Penasaran untuk membaca? Simak review berikut ini dulu, yuk!
—
Dalam dunia karang mengarang, nama Eko Triono bukan nama baru. Ia barangkali salah satu pengarang yang cukup produktif. Karyanya kerap berseliweran di rubrik cerpen media cetak nasional beroplah besar. Rubrik yang kata banyak orang susah tembusnya karena punya seleksi yang ketat. Tapi Eko Triono berhasil melewatinya. Tidak hanya itu. Bahkan beberapa karya cerita pendek penulis buku Republik Rakyat Lucu ini pernah memenangkan lomba cerita pendek tingkat nasional. Bahkan beberapa bukunya masuk dalam daftar Khusala Sastra Khatulistiwa .
Kali ini Eko Triono kembali menerbitkan sebuah buku kumpulan cerita pendek dengan judul yang menggelitik; “Berapa Harga Nyawa Hari Ini?” melalui penerbit Shira Media, Yogyakarta. Barangkali (semoga saya tidak keliru) buku ini adalah buku ke-6 sejak buku pertamanya; Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? beredar di pasaran.
Buku bersampul biru tua dengan gambar cover seorang tua bertongkat sedang duduk ditemani seekor kucing dan berukuran mungil (13 x 19 cm) yang ilustrasinya digarap Ichsan ini berisi 23 cerita pendek yang ditulis dalam rentang waktu 2019 hingga 2021. Masa dua tahun jelas bukan waktu yang singkat. Tapi juga bukan hal yang mengesankan. Sebab tentu saja ada buku kumpulan cerita pendek yang ditulis dalam waktu lebih lama maupun lebih pendek dari buku ini.
Lantas apa yang menarik dari buku ini? Jelas buku kali ini berbeda dengan buku kumpulan cerpennya Republik Rakyat Lucu yang diterbitkan penerbit yang sama. Jika Republik Rakyat Lucu mengangkat tema besar mengenai pendidikan di Indonesia, cerita-cerita pendek pria kelahiran Cilacap 1989 dalam buku setebal 162 halaman ini, mengisahkan tentang banyak hal dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Mulai dari cerita personal hingga menyangkut isu sosial, ekonomi, lingkungan, pendidikan, politik, dan kesehatan. Ada yang ceritanya panjang. Ada pula yang pendek.
Sebagian cerita dalam buku ini pernah dimuat di media cetak maupun elektronik. beberapa di antaranya juga pernah memenangkan lomba penulisan cerita pendek tingkat nasional. Riwayat publikasi tersebut jelas sisi menarik bagi mereka yang hendak belajar menulis cerita dan mencoba peruntungan ceritanya dalam seleksi media maupun juri-juri lomba.
Namun, dari segala purwa ragam itu ada yang tetap tinggal dalam cerita Eko Triono. Yang bagi banyak pembacanya merupakan ciri khas. Kebanyakan cerita dalam kumpulan cerpen ini dikemas dengan candaan yang kadang kala satire.
Baca Juga:
Resensi Buku Sihir Mantra Karya Maman S. Mahayana
Hal ini bisa dilihat dari cerpen pembuka buku ini. Cerpen berjudul “Bahasa Ibu” memotret tergerusnya bahasa daerah karena kehilangan penuturnya. Sebuah cerpen yang pernah menjadi juara I kategori umum Pekan Literasi Bank Indonesia, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto (2020). Tentang kegelisahan banyak orang akan nasib bahasa ibu.
Tidak dapat dimungkiri bahwa bangsa kita selain kaya sumber daya alamnya juga kaya dengan ragam bahasa. Berdasarkan
World Economic Forum, Ethnologue
(2016) jumlah bahasa daerah di Indonesia ada sebanyak 707 bahasa dan berada di urutan ke-2 sebagai negara pemilik bahasa daerah terbanyak di dunia setelah Papua Nugini.
Namun berdasarkan laporan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Per tahun 2018, tercatat sudah ada 11 bahasa daerah yang dinyatakan punah. Lebih lanjut, masih menurut laporan tersebut, ada setidaknya 22 bahasa daerah yang sedang terancam punah Semua penutur 20 tahun ke atas dan jumlahnya sedikit, sementara generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri. sedangkan 2 bahasa daerah mengalami kritis dan berada di tubir kepunahan karena jumlah penuturnya makin hari makin berkurang.
Dengan menggunakan konsep dongeng (personifikasi) cerpen tersebut menggambarkan dengan cukup baik bagaimana arus modernisasi dan perkembangan zaman ternyata membawa dampak terhadap kondisi bahasa daerah, khususnya bahasa daerah di Indonesia.
Sedangkan cerpen berjudul Berapa Harga Nyawa Hari ini?” (yang jadi judul buku ini) memotret hari-hari di mana gelombang pandemi mengamuk. Terutama saat gelombang kedua korona meminta banyak sekali nyawa. Dengan gaya tutur
sebagaimana sering kali kita bercerita ke orang lain cerita ini seolah menghantam rasa kemanusiaan kita saat sebuah nyawa jadi taruhannya. Memang tak ada yang lebih berharga dari nyawa. Tapi bagaimana jika nyawa ditukar dengan rasa kemanusiaan? Sebuah pilihan yang sulit. Dan Eko Triono mampu meraciknya dengan cerita sederhana namun penuh ironi.
Pada cerita penutup yang berjudul “Perhatikan Paragraf Terakhir” kita disuguhi kerumitan sebuah proses kreatif menulis cerita pendek. Seolah Eko Triono ingin mengatakan pada pembaca buku ini bahwa semua cerita dalam buku terbarunya ini ditulis tidak sekali jadi. Ada proses panjang dari 23 cerita dalam buku ini. Kadang kala diwarnai beberapa kali paragraf pembuka.
Kadang kala mendadak macet di paragraf berikutnya. Dan kemacetan, bahkan dalam menulis, sungguh melelahkan. Tidak banyak yang berhasil melampauinya. Mampu bertahan untuk terus menyelesaikan cerita. Kebanyakan pengarang pemula sering kalah ketika berhadapan dengan daya tahan. Dan semua pengarang pernah jadi pemula awalnya. Dan Eko Triono barangkali adalah sedikit pengarang yang mampu bertahan. Buku ini adalah buktinya.
Tentu saja masalah tidak lantas selesai ketika sebuah buku terbit. Sebab ada tantangan lain yang sedang terbuka ketika sebuah mulai beredar di pasaran, yaitu diterima pembaca. Dan dalam hal ini ada dua hal yang bekerja; selera pasar dan keberuntungan. Tentu saja keputusan ada di tangan pasar. Di hadirat pembaca yang budiman. Namun bagi saya pribadi buku ini menarik untuk dimiliki.
Baca Juga:
Resensi Buku Keajaiban Yang Mengubah Hidup Dari Bersikap Tidak Ambil Pusing Karya Sarah Knight
Tentang Peresensi:
Nurfa Rosanti
adalah Penikmat buku. Guru Matematika di SMP Negeri 3 Sampang, Madura. Karyanya berupa artikel dan resensi buku tersebar di banyak media cetak maupun elektronik, baik nasional dan lokal, seperti: JAWA POS, Harian SURYA, SURABAYA POST, RADAR MADURA, RADAR SURABAYA, DUTA MASYARAKAT, lensasastra.id dan Koran Pak Oles Bali.
—
Ruangguru membuka kesempatan untuk kamu yang suka menulis cerpen dan resensi buku untuk diterbitkan di ruangbaca, lho!
Setiap minggunya, akan ada karya cerpen dan resensi buku
yang dipublikasikan. Kamu bisa
baca karya resensi buku menarik lainnya di sini
, ya. Yuk, kirimkan karyamu juga! Simak syarat dan ketentuannya
di artikel ini
. Kami tunggu ya~