Mengenal Slow Education dan Slow Parenting untuk Anak Usia Dini



perbedaan slow education dan slow parenting





Artikel ini membahas mengenai slow education dan slow parenting sebagai salah satu gaya asuh anak usia dini.











Saat ini kita sedang hidup di zaman modern, dengan segala kecanggihan dan fasilitas yang membantu kegiatan sehari-hari. Perkembangan di sekitar kita berlangsung dengan sangat cepat. Dari yang awal tahun 2000-an kita masih menggunakan telepon umum, hingga sekarang kita menggunakan

handphone

untuk berkomunikasi.



Tak hanya teknologi dan pembangunan, perkembangan yang pesat terjadi pada manusia juga. Mungkin suatu hari kita pernah menonton berita yang membicarakan anak umur 12 tahun sudah menduduki bangku kuliah pasca sarjana. Ada juga yang di umur 5 tahun sudah menjuarai sebuah kompetisi tingkat nasional bahkan internasional.



Di sisi lain, mungkin kita melihat anak tetangga kita yang berumur 4 tahun sudah pandai bercakap-cakap juga lihai menulis hal-hal sederhana. Kita merasa takjub akan keberhasilan mereka, tapi kita juga mulai khawatir. “Apakah anakku bisa mengejar mereka?” Kemudian kita mulai menyusun berbagai macam kegiatan untuk anak kita yang masih berumur 4 tahun.



Mulai dari latihan menulis, membaca, ikut pencak silat, les renang, les piano dan berbagai macam kegiatan lainnya. Tapi, ketika anak kita sudah mengikuti berbagai macam kegiatan, mengapa mereka tidak sepandai anak-anak pada umumnya, padahal umur mereka sama? Akhirnya kita mulai membuat kegiatan mereka yang sudah direncanakan di awal semakin ketat dan disiplin.



Baca Juga:
Inilah 9 Peran Orangtua Terhadap Pendidikan Anak di Rumah



Sayangnya, kita tidak tahu apa yang kita lakukan apakah sudah cukup tepat atau belum. Pasalnya, terdapat sebuah penelitian terkait fisiologi anak-anak. Sebuah

facebook post

dari akun @MindfulMomentsChildEnrichment menemukan perbedaan tangan anak umur 4 tahun dengan anak umur 7 tahun sebagai berikut.



Slow education dan slow parenting
Perbedaan tangan anak usia 4 tahun (kiri) dengan usia 7 tahun (kanan). (sumber:

Facebook @MindfulMomentsChildEnrichment

)



Tangan anak usia 4 tahun normalnya sedang dalam pertumbuhan. Sehingga normal saja ketika anak-anak berumur 4 tahun masih belum pandai menulis, dan lebih sering bermain-main menggunakan krayon, lilin mainan, dan sebagainya.



Tapi anak tetangga sudah bisa, bagaimana dengan anak kita yang belum? Bagaimana jika dia terlambat belajar menulis dan ketinggalan dari teman-temannya? Bagaimana ia bisa berkompetisi di kehidupan mendatang jika menulis saja bisa terlambat?



Sebagai orang tua yang hidup dalam zaman super cepat ini wajar saja memiliki rasa takut dan khawatir dengan anak-anak kita, yang mungkin terbilang tidak berkembang secepat anak-anak pada umumnya. Namun, sudah sepatutnya kita bernapas dengan tenang dan mengingat kembali bahwa

tidak ada anak yang sama.



Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya yang berjudul Buku Keluarga (1940) menulis, “Anak-anak tumbuh berdasarkan kekuatan kodratinya yang unik, tak mungkin pendidik ‘mengubah padi menjadi jagung’ atau sebaliknya.” Di samping itu, seorang pendiri Pendidikan Waldorf, Rudolf Steiner, memiliki konsep yang serupa dengan Ki Hajar Dewantara.



Baca Juga:
Teknik Minimalist Parenting untuk Pola Asuh Anak



Dalam bukunya yang berjudul The Education of the Child and Early Lectures on Education, Steiner menulis, “Hidup dalam keutuhannya seperti tumbuhan. Tumbuhan mengandung lebih dari apa yang ditawarkannya untuk kehidupan luar; ia juga memiliki kondisi masa depan dalam kedalamannya yang tersembunyi… bagaimana penyelidikan sederhana tentang apa yang ditawarkan tanaman dapat segera mengungkapkan seperti apa bentuk organ-organ barunya?”



Steiner dan Ki hajar Dewantara menyebutkan bahwa anak-anak sudah pasti berbeda, seperti halnya tanaman. Kita tidak bisa mendidik jagung untuk tumbuh seperti padi. Kita juga tidak bisa menilai masa depan anak kita dari apa yang sudah mereka capai saat mereka dalam masa pertumbuhan.



Sejatinya, ketika anak kita belum bisa menulis dengan baik, bukan berarti di masa depan, mereka akan ketinggalan. Ada pun, ketika kita membandingkan anak kita dengan yang lain, perlakuan kita cenderung dapat menumbuhkan rasa ketidakpercayaan diri, pribadi yang cemas, bahkan dapat menghilangkan kedekatan antara orang tua dengan anak.



Lalu, apa yang harus kita lakukan agar anak kita terjamin masa depannya? Pelan-pelan. Mengapa harus pelan-pelan, padahal kita sedang hidup dalam dunia yang berkembang dengan cepat? Mungkin kita seharusnya ingat kembali memori tentang kita bersama anak-anak.




Smartparents

, pernahkah suatu hari ketika anak kita yang masih kecil sedang rewel, mereka berteriak dan menangis-nangis, lalu membuat kita jengkel? Kemudian kita curhat kepada orang tua kita, atau rekan kantor yang anaknya sudah remaja. Tanpa diduga-duga, mereka menjawab, “Nikmati saja. Tidak lama lagi, mereka akan tumbuh dewasa.”



Kemudian kita pulang ke rumah. Melihat anak-anak yang terlelap dengan manis mengingatkan kita tentang memori saat bersama mereka. Suatu saat mungkin mereka menangis dan berlari kepada kita, “Bunda, aku tadi jatuh di luar.. Kaki aku luka..” Kemudian kita memeluknya, menyeka air matanya, dan mengelus kaki kecilnya, dan mengobati luka tersebut.



Atau mungkin di waktu lain, anak kita menangis ketakutan, “Ayah, aku dikejar anjing.. Aku takut…” Kita lalu mendekapnya. Mengusap rambutnya sembari mencium kepalanya yang wangi itu. Kita menjadi orang pertama yang dicarinya ketika mereka sedang kesulitan.



Slow education dan slow parenting
(Sumber:

unsplash.com

)



Namun, akan tiba masanya, ketika kita bangun di suatu pagi, anak kita tidak lagi mencari pertolongan kita. Bahkan mungkin mereka tidak akan menceritakan apa yang baru saja dialami karena mereka sudah tumbuh dewasa.



Baca Juga:
Gaya Mendidik Kekinian yang Disukai oleh Orang Tua Milenial



Oleh karena itu, kita mungkin sebaiknya mulai menerapkan Pergerakan Lambat. Apa yang dimaksud dengan Pergerakan Lambat? Pergerakan Lambat atau


Slow Movement


mulai dikenal di Italia pada tahun 1986 oleh Carlo Petrini. Pada saat itu, ia membuat sebuah perlawanan terhadap

fast food

. Petrini mengkritik makanan siap saji yang mempromosikan pemutus hubungan, standarisasi makanan dan juga ia khawatir, dapat menghilangkan kebiasaan makan bersama yang bersifat ramah tamah.



Gerakan yang dicetus oleh Petrini ini pada dasarnya tidak membicarakan tentang bagaimana seluruh kegiatan dilakukan dengan cara yang lambat. Tetapi, bagaimana seluruh kegiatan dapat dilakukan

dengan baik

dan pada

waktu yang tepat

.



Gerakan Lambat kemudian berkembang dan menyebar ke berbagai cabang, baik dari segi edukasi (


Slow Education


) sampai ke pakaian (


Slow Clothing


). Dalam konteks ini, terdapat dua cabang yang memiliki keterkaitan yang sangat erat, yaitu


Slow Education


dan


Slow Parenting


.



Slow Education





Slow education


pada dasarnya adalah tentang pembelajaran mendalam untuk tujuan yang nyata. Pembelajaran ini dilakukan berdasarkan hasrat, rasa ingin tahu, dan minat, bukan dari ketakutan mendapatkan nilai yang tidak baik atau tidak naik kelas.



Proses pembelajaran


slow education


menekankan pada pembelajaran yang bebas, dan tidak berpatok pada kurikulum. Pembelajaran ini tentang belajar untuk memuaskan rasa ingin tahu, untuk menikmati penemuan di proses pembelajaran dengan tempo yang sesuai.



Pembelajaran ini sebenarnya diterapkan pada anak-anak zaman dulu yang dilakukan oleh orang tua mereka. Namun, pada zaman sekarang, pendidikan anak dititikberatkan pada sekolah dan melepaskan peran orang tua dan keluarga. Padahal, pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua, bukan sekolah.




Baca juga:
Mengenal Emotional Neglect and Supression dari film NKCTHI



Slow Parenting



Gerakan


slow education


dapat dipadukan dengan gerakan


slow parenting


.


S


low parenting


merupakan gerakan yang menekankan pada memperlambat kegiatan dan tidak terburu-buru dalam menjalani hidup bersama anak. Gerakan ini pada dasarnya adalah gaya pengasuhan yang membiarkan gaya hidup anak berjalan dengan alamiah, daripada merencanakan berbagai situasi untuk anak.



Misalnya anak tidak mengikuti kelas renang atau karate, juga tidak mengikuti les calistung. Tapi anak diasuh dalam lingkungan alami yang mendukung pembelajaran dan perkembangan anak. Contohnya setiap hari sabtu seluruh keluarga berkumpul dan bermain monopoli.



Mungkin dalam benak kita, ketika bermain monopoli, tidak ada yang dapat dijadikan pembelajaran untuk anak. Padahal, jika ditelusuri lebih lanjut, bagi anak, bermain adalah belajar. Dalam bermain, anak dapat belajar bagaimana caranya bekerja sama. Bagaimana mereka belajar untuk mengekspresikan emosi mereka, dan sebagainya.



Slow education dan slow parenting
(Sumber:

unsplash.com

)



Selain kegiatan bermain, kita juga bisa membiarkan anak mengeksplor dunia luar dengan sendirinya dan kita cukup mengamati mereka. Kita tidak perlu ikut campur dan memengaruhi mereka. Cukup membiarkan mereka ‘belajar’ dengan sendirinya. Karena, tanpa disadari, anak akan bertumbuh dengan cepat.



Jika kita terlalu banyak merencanakan kegiatan mereka untuk dapat bersaing dengan anak yang lain atau agar dapat menguasai berbagai macam hal dengan cepat, kita dapat kehilangan momen kebersamaan mereka dengan cepat juga. Kemampuan membaca, menulis dan berhitung, atau kompetensi lainnya memanglah penting. Tetapi kedekatan anak dengan orang tua, memiliki kecerdasan emosi, dan mengenal diri tidak kalah penting.





Slow parenting


dipercaya dapat menumbuhkan kemandirian dan rasa percaya diri pada anak. Hal ini disebabkan anak yang menjelajahi dunia sekitarnya sendirian, dapat membuka wawasan tentang kehidupan di luar rumahnya yang nyaman. Lalu, anak juga dipercaya dapat menjadi kreatif dan terbuka dengan masalah. Karena mereka akan menemukan masalahnya sendiri, lalu mencoba memecahkan masalahnya sendiri juga.



Misalnya ketika anak bermain sepeda di dekat lapangan. Mereka melihat lapangan itu kosong dan ingin bermain di sana. Namun ketika ingin memasuki lapangan, mereka harus berhadapan dengan tangga. Mereka berpikir, tidak mungkin bisa menaiki tangga sambil mengayuh sepedanya. Akhirnya mereka turun dari sepeda, dan mengangkatnya.



Selain itu, anak juga dapat belajar dari kesalahannya dan menjadi jeli dengan apa yang berhasil dan tidak. Mereka belajar dengan mencoba-coba sambil belajar untuk tetap tenang dalam keadaan yang stres. Dengan demikian, anak dapat meningkatkan rasa percaya dirinya dan mendapatkan kebebasan untuk memilih.



Misalnya ketika mereka pertama kali belajar bermain sepeda. Kita cukup dengan membantunya berdiri saja. Selebihnya mereka akan berusaha sendiri Tentunya mereka cenderung akan jatuh, tapi dengan demikian mereka dapat mengetahui dengan sendirinya bagaimana agar lebih seimbang.



Namun, perlu ditekankan. Ketika membiarkan anak bebas belajar dengan sendirinya, kita harus memberikan pengamatan yang lebih agar mereka tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang salah.



Tidak dapat dipungkiri, bahwa menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah. Kita khawatir anak kita menjadi anak yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan, atau tertinggal dari teman-temannya yang lain. Mungkin dengan merencanakan berbagai hal untuk anak dapat membuat mereka tidak tertinggal dari lingkungannya yang cepat.



Namun, kita juga sebaiknya menyadari, bahwa kita dapat kehilangan momen bersama anak dengan membiarkan mereka terburu-buru menjadi dewasa. Dengan memperlambat, anak bahkan bisa belajar lebih banyak dan karena kita mengamati mereka, kita tidak akan melewatkan momen-momen mereka berkembang.



Kini, Anda sebagai orang tua tidak perlu khawatir akan hal tersebut. Sudah banyak
sekolah online PAUD
atau sejenisnya yang memfasilitasi kekhawatiran orang tua terkait pendidikan anak.



Karena, kita juga perlu menyadari, bahwa yang tidak dapat kembali bukan hanya waktu yang telah berlalu, tapi juga anak yang sudah beranjak dewasa.



Sumber referensi:



Achwal, A. ‘Slow Parenting – Should You Try This Style’,

FirstCry Parenting

, 8 March 2019 [online]. Available at: https://parenting.firstcry.com/articles/slow-parenting-should-you-try-this-style/ (Accessed: 22 September 2020)



Brandwein, S. ‘Why Slow Parenting is Right for My Family’,

Parents

, 8 August 2019 [online]. Available at: https://www.parents.com/parenting/better-parenting/style/why-slow-parenting-is-right-for-my-family/ (Accessed: 22 September 2020)



Conjry, J. ‘The Benefits of Slow Parenting’,

The


Boston Globe

, 2 May 2016 [online]

.

Available at: https://www.bostonglobe.com/lifestyle/2015/05/10/the-benefits-slow-parenting/2LImOAIyqElORCStgOADSI/story.html (Accessed: 22 September 2020)



Mortlock, A. ‘Slow Education and Its Links to Sustainability’,

Ipu Kererū

, 28 June 2018 [online]. Available at: https://nzareblog.wordpress.com/2018/06/28/slow-education/ (Accessed: 22 September 2020)



Innova. ‘Intoduction to the Slow Education Movement’,

Innova Design Group

, 14 May 2015 [online]. Available at: https://www.innovadesigngroup.co.uk/news/introduction-to-the-slow-education-movement/ (Accessed: 22 September 2020)



Latip, A. ‘Pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam Sistem Pendidikan Kita’,

Indonesiana

, 27 April 2019 [online]. Available at: https://www.indonesiana.id/read/126147/pemikiran-ki-hajar-dewantara-dalam-sistem-pendidikan-kita (Accessed: 22 September 2020)



Sharma, M. ‘5 Reasons Why You Should Never Compare Kids With Others’,

Huffpost

, 15 July 2016 [online]. Available at: https://www.huffingtonpost.in/meha-sharma/five-reasons-why-we-shoul_b_8660618.html (Accessed: 22 September 2020)



SlowMovement. ‘Slow Schools and Slow Education’,

Slow Movement

, no date [online]. Available at: https://www.slowmovement.com/slow_schools.php#:~:text=Slow%20Schools%20as%20part%20of,they%20have%20helped%20to%20grow (Accessed: 22 September 2020)



Wright, S. ‘Are You Ready to Join the Slow Education Movement’,

Powerful Learning Practice

, 26 August 2014 [online]. Available at: https://plpnetwork.com/2014/08/26/time-fight-slow-education/ (Accessed: 22 September 2020)



Steiner, R. 1996.

The Education of The Child and Early Lectures on Education.

Hudson, N.Y. Anthroposophic Press.



Sumber foto:
Hasselman, W. 2019.

Gray and brown snail

[online]. Available at: https://unsplash.com/photos/_kTvNCb7gZA (Accessed: 24 September 2020)



MindfulMoments, 2020 [online]. Available at: https://web.facebook.com/MindfulMomentsChildEnrichment/posts/look-at-the-differences-between-a-typical-younger-childs-hand-left-and-a-typical/1390073977830816/?_rdc=1&_rdr (Accessed: 21 September 2020)



Witt, J. 2016.

Woman hugging boy on her lap

[online]. Available at:  https://unsplash.com/photos/KQCXf_zvdaU (Accessed: 24 September 2020)



Branson, B. 2020.

Group of people beside coffee table

[online]. Available at: https://unsplash.com/photos/xDSD3Vmzh70/info (Accessed: 24 September 2020)



LihatTutupKomentar