Teori Konflik dan Faktor Penyebab Kekerasan Sosial | Sosiologi Kelas 11



Teori Konflik dan Faktor Penyebab Kekerasan Sosial





Konflik dan Kekerasan merupakan fenomena sosial yang bisa terjadi pada manusia. Nah di artikel sosiologi kali ini, kita akan membahas tentang teori kekerasan sosial. Yuk kita belajar!









Ketika mendengar tentang kata “konflik dan kekerasan sosial” apa yang ada dipikiranmu?
Dalam Sosiologi
, bahasan tentang konflik ini tak pernah selesai dibahas. Kita tentu tau, masyarakat gak selalu dalam keadaan harmonis. Sedih ya? Menurutmu apakah konflik itu sangat buruk dan seharusnya tidak pernah terjadi? Jika begitu, mungkin inilah waktu yang tepat buat kita mempelajari konflik secara sosiologis.



Seperti yang sudah kita sering lihat di media maupun kehidupan nyata, kekerasan adalah bentuk lanjutan dari konflik sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan identik dengan tindakan melukai orang lain dengan sengaja. Kekerasan seperti ini disebut juga dengan kekerasan langsung.



Baca juga:
Mengenal Macam-Macam Teori Ketimpangan Sosial




Definisi Konflik dan Kekerasan Sosial



Apa itu konflik sosial?
Secara etimologi atau dari asal katanya, konflik berasal dari bahasa Latin, yaitu

configere

, yang artinya saling memukul. Tapi kesimpulannya, konflik nggak cuma pukul-pukulan, ya

guys!

Saling memukul tersebut merupakan ungkapan dari pertentangan atau perselisihan antar pihak-pihak yang berlawanan. Makanya, secara sosiologis,
konflik sosial adalah

pertentangan yang masing-masing pihak di dalamnya berupaya untuk saling menyingkirkan.



Nah, sekarang kita bahas tentang kekerasannya. Konflik sosial yang terus larut tanpa solusi, akan menimbulkan keadaan baru yakni kekerasan. Secara definisi,

kekerasan adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau hilangnya nyawa seseorang

atau dapat menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.



meme kucing marah




Buntut dari konflik yang tidak terselesaikan yakni terjadinya kekerasan (Sumber: Brilio)



Kamu tau ngga, kekerasan itu ternyata nggak hanya dalam tindakan menyakiti fisik orang lain

lho

, tapi juga meliputi tindakan-tindakan seperti mengekang, mengurangi atau meniadakan hak seseorang, mengintimidasi, memfitnah, dan meneror orang lain.  Jenis kekerasan ini disebut juga dengan kekerasan tidak langsung.



Secara sosiologis, kekerasan di lingkup sosial mungkin saja terjadi karena adanya pengabaian norma dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat tersebut oleh individu atau suatu kelompok. Melihat perlunya penjelasan ilmiah mengenai kekerasan di masyarakat, beberapa ahli mencetuskan teori mengenai proses terbentuknya kekerasan sosial di masyarakat.



Baca juga:
Pengertian Globalisasi, Karakteristik, dan Prosesnya




Macam-Macam Teori Konflik



Nah, kita udah tau nih tentang apa itu konflik, dan juga kekerasan. Sekarang kita bahas tentang beberapa teori konflik. Jadi, teori-teori ini, penting banget untuk kita gunakan sebagai cara pandang dalam melihat berbagai kasus konflik yang terjadi di masyarakat. Karena bisa aja beda kasus konflik, teori untuk mengkajinya juga berbeda. Yuk kita bahas!



Teori Konflik Sosial



1.

Teori Konflik Karl Marx



Pertama, kita akan bahas
teori konflik dari pemikiran Karl Marx
. Kita tentu tau, bahwa banyak pemikiran Karl Marx didasari atas perbedaan kelas berdasarkan kepemilikan alat produksi atau aspek ekonomi. Begitu juga dengan konflik atau masalah sosial.



Menurutnya, salah satu penyebab terbesar dari terjadinya konflik yakni diterapkannya sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, kelompok pemilik modal atau borjuis, mengalami konflik melalui
ketimpangan
yang terjadi dengan kelompok proletar atau buruh.



Dalam sistem kapitalisme, kelompok borjuis ingin mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga memicu pertentangan dari kelompok proletar atau buruh yang menuntut keadilan terhadap upah dan kesejahteraan. Nah disitulah konflik sosial terjadi menurut pandangan Karl Marx.




2. Teori Konflik Gramsci



Oke selanjutnya, kita bahas pemikiran dari Antonio Gramsci. Jika dibandingkan dengan Marx, yang fokus konfliknya pada aspek ekonomi, Pak Gramsci berfokus dengan aspek budaya maupun politik atau kekuasaan.



Jadi kata Gramsci,

konflik sosial dapat terjadi karena adanya suatu hegemoni.

Eh tapi, hegemoni itu apa? Jadi, hegemoni adalah kekuasaan yang dijalankan dengan jalan kekerasan untuk membangun sebuah ideolog dan kebudayaani yang diinginkan oleh pihak penguasa. Kalau masih bingung, kita bisa mengambil contoh dari cara kekerasan yang dilakukan Adolf Hitler untuk membangun ideologi fasis di Jerman, atau ideologi komunis yang tidak bisa dihilangkan di Korea Utara karena kekerasan dari pemimpin negaranya.



Jadi, kalo orang udah punya hegemoni, ya dia bisa mengatur apapun yang menurutnya ideal. Tapi siapa saja yang bisa menjalankan hegemoni ini? Nah kata Gramsci, hegemoni ini dapat dijalankan oleh beberapa pihak.



Baca juga:
Modernisasi dan Segala Sesuatu Tentangnya



Pertama, pihak penguasa. Dari mulai eksekutif, legislatif, sampai angkatan bersenjata atau militer. Pihak yang kedua adalah kelompok masyarakat sipil, seperti kelompok-kelompok organisasi masyarakat atau ormas.



Loh, kok masyarakat sipil juga bisa? Nah, kata Gramsci, hal itu memungkinkan dengan adanya kelompok atau ormas dari masyarakat sipil. Pada umumnya, mereka punya peran untuk jadi perantara penguasa untuk memperluas pengaruh kekuasaannya. Ibaratnya, kayak pro sama kekuasaan gitu, dan memusuhi kelompok sipil lain yang kritis terhadap pemerintahan. Kira-kira, kamu bisa ngebayangin hal itu terjadi di hidup kita ngga?



Terus gimana cara kita gunakan teori Gramsci ini dalam melihat kasus konflik? Nah, melalui konsep hegemoni Gramsci, kita bisa nih menganalisis kasus konflik yang melibatkan pemerintah dengan rakyatnya.



Contohnya kayak kasus pembungkaman kebebasan berpendapat kepada orang-orang yang kritis terhadap kekuasaan. Jadi, lewat hegemoni, si penguasa bisa tuh mempertahankan kekuasaan dengan cara membungkam kebebasan berpendapat atau kritik terhadapnya. Dari hegemoni itulah, konflik sosial bisa menghasilkan ketidakadilan terhadap orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan.




3. Teori Fungsional Konflik Lewis A. Coser



Oke, setelah kita bahas teori konflik Marx, dan juga Gramsci, terakhir kita ke teori konflik menurut Lewis A. Coser.



Balik lagi nih, kalo misal kita simpulkan bahwa menuntut Pak Marx dan Pak Gramsci menganggap konflik itu rentan banget menghasilkan ketidakadilan, khususnya bagi orang-orang yang gak punya modal atau kekuasaan, menurut Coser, konflik itu dilihat justru punya fungsi bagi masyarakat. Lah kok bisa jadi ada fungsinya? Coba kita pahami dulu ya!



Jadi dari pemikiran Pak Coser, teori tersebut dianggap sebagai fungsional konflik. Yaitu, sebuah cara pandang yang melihat bahwa konflik bisa bersifat fungsional   tapi bisa juga bersifat disfungsional. Bedanya apa tuh?



Oke,

bersifat fungsional, artinya konflik bisa memiliki fungsi bagi masyarakat,

seperti, memperkuat persatuan kelompok dan juga sebagai alat untuk melawan ketidakadilan sehingga mendorong terjadinya perubahan.



Jadi, perlawanan yang dilakukan oleh pihak buruh untuk menuntut keadilan upah sebenarnya punya fungsi nih untuk memperkuat solidaritas di antara kelompok mereka dan juga bisa menjadi upaya untuk menuntut keadilan. Istilahnya kaya, orang-orang jadi bersatu karna punya musuh bersama gitu,

guys!



Jadi kalau misalnya kita lihat banyak kasus korupsi, dan bakal ditindak tegas oleh penegak hukum, harapannya bisa membawa perubahan baik yakni pemerintah jadi bersih dari praktek korupsi

guys,

Semoga ya! Amiin,,



Sementara itu,
konflik menurut Coser juga dianggap memiliki sisi yang disfungsional, atau justru mengganggu keharmonisan di dalam masyarakat
. Contohnya, seperti pertentangan antar kelompok

supporter

bola deh, tentu hal tersebut dalam jangka panjang bisa juga berakibat buruk dalam memecah persatuan di masyarakat. Akibatnya, kita jadi ngerasa nggak aman, kan?



Konflik kekerasan tersingkat di dunia



Baca juga:
Pentingnya Memahami Kearifan Lokal dan Karakteristiknya




Faktor Penyebab Konflik/Kekerasan Sosial



Setelah bahas konflik, kita tentu tahu kan ujungnya dari konflik mengarah kemana. Yap betul, kekerasan. Kekerasan sendiri terjadi karena beberapa faktor yang memengaruhinya. Ada 3 faktor penyebab yakni faktor individual, faktor kelompok, dan dinamika kelompok. Yuk simak masing-masing penjelasannya!




1. Faktor Individual



Perilaku agresif seseorang dapat menyebabkan timbulnya kekerasan. Faktor penyebab perilaku kekerasan menurut teori ini adalah faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi yaitu meliputi kelainan jiwa, seperti psikopat, stres, depresi, serta pengaruh obat bius. Sedangkan faktor yang bersifat sosial antara lain seperti konflik rumah tangga, faktor budaya, dan media massa.



kucing marah




Faktor individual yakni dari kepribadian individu yang gampang emosian, bisa memicu terjadinya kekerasan ya guys! (Sumber: Brilio)




2. Faktor Kelompok



Menurut teori ini, individu cenderung membentuk kelompok dengan memprioritaskan identitas berdasarkan persamaan ras, agama, atau etnis. Identitas kelompok yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain ini rawan menyebabkan benturan antara identitas kelompok yang berbeda dan kemudian menjadi penyebab kekerasan.



Contohnya ada pada perkelahian antar pendukung klub bola saat pertandingan di stadion. Selain itu, ada juga kekerasan berbau rasial yang terjadi di Afrika Selatan dan Amerika Serikat pada orang kulit hitam, serta di Indonesia pada kerusuhan Mei ‘98, yaitu kekerasan terhadap kelompok etnis Tionghoa.




Baca Juga:
Bentuk Konflik dan Kekerasan di Masyarakat




3. Faktor Dinamika Kelompok



Kekerasan dapat timbul karena hilangnya rasa saling memiliki yang terjadi dalam kelompok. Hal ini dapat diartikan bahwa perubahan-perubahan sosial terjadi sedemikian cepat dalam sebuah masyarakat dan tidak mampu direspon sama cepatnya oleh sistem sosial dan nilai masyarakatnya.



Contohnya bisa dilihat dari masuknya perusahaan internasional ke wilayah pedalaman Papua yang membawa berbagai teknologi, perilaku, hingga tata nilai yang berbeda. Hal ini menyebabkan masyarakat setempat merasa terasing dan muncullah kehilangan rasa memiliki yang berakhir dengan perlawanan kekuasaan.






Gimana sekarang, sudah mulai paham

kan

konflik dan kekerasan sosial
? Mau belajar Sosiologi lebih detail lagi? Atau ingin belajar materi lainnya?

Yuk

langsung diskusi bareng dengan tutor yang andal dan gabung dengan grup belajar dari teman-teman di seluruh Indonesia hanya di
Brain Academy Online!








Referensi:



Wrahatnala, Bondet.  2009. Sosiologi 2: Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional




Sumber Foto:



Foto ‘Kerusuhan Suporter Bola’ [daring] Tautan: https://bola.okezone.com/read/2017/06/05/49/1707495/kerusuhan-suporter-persib-tak-terhenti-hingga-laga-berakhir-di-stadion



LihatTutupKomentar