Apa sih sebenarnya konsep jodoh itu? Novel ini bercerita kisah asmara sepasang tokoh yang mengundang perasaan berbunga-bunga, sekaligus menyayat hati. Penasaran ingin membaca? Simak review berikut ini dulu, yuk!
—
Berbeda dengan Dewi Lestari yang menyebut bahwa Jodoh adalah “karya Fahd Pahdepie yang termanis meski relatif lebih ringan dibanding karya-karya sebelumnya”, bagi saya Jodoh adalah satu dari dua karya Fahd paling ‘aneh’ selain novelnya yang berjudul Angan Senja & Senyum Pagi.
Percobaan Fahd menulis novel bertema cinta anak muda kali ini membuatnya terjatuh pada penyajian cerita melodrama. Saya merasa Jodoh ini tak cuma ringan tapi juga remeh-temeh dibanding beberapa buku lain karya Fahd yang pernah saya baca.
Tak banyak pesan dan pelajaran yang bisa saya gali dari sini. Meskipun telah menerapkan gaya penulisan orang kedua seperti tulisan yang sudah-sudah namun saya merasa cita rasa Fahd Djibran–nama penanya sebelum dia menggunakan nama asli Fahd Pahdepie–tak terlalu nendang di buku ini. Entahlah. Barangkali ini terlalu subjektif, tapi saya mencoba apa adanya dari yang dirasa dan dipikir.
Pasalnya, buku-buku Fahd sebelumnya merupakan prosa yang menyajikan kisah-kisah inspirasi dan membuka sudut pandang baru, baik itu novel maupun kumpulan cerita. Misalnya buku Yang Galau, Yang Meracau yang membahas cara kita memaknai agama dan ketuhanan lewat curhatan Tuan Setan.
Berikutnya adalah Perjalanan Rasa yang membicarakan harapan, mimpi, kebebasan, perasaan, keinginan, pilihan, persahabatan, orangtua, dengan model penyajiannya yang unik dan pastinya padat makna. Lalu ada Hidup Berawal dari Mimpi yang menyajikan kisah-kisah motivasi yang terinspirasi dari lirik-lirik lagu rekan musisinya Bondan Prakoso. Ada lagi Tak Sempurna, novel berisi kritik atas realitas pendidikan.
Beberapa buku tersebut adalah saat dia masih mengenakan nama Fahd Djibran. Barangkali Fahd sedang ingin lahir kembali dengan nama Pahdepie dengan karya-karya yang lebih soft seputar cinta. Entahlah, itu cuma tebakan saya.
Secara garis besar Jodoh menyajikan kisah cinta yang telah dijalin sejak kedua tokoh masih ingusan. Tokoh Sena mengakui sudah jatuh hati pada Keara sejak hari pertama menginjakkan kaki di Sekolah Dasar. Sena menyukai segala yang ada pada Keara: caranya berjalan, menulis, tertawa, tersenyum, bicara, bahkan cemberut. Mereka mengalami pasang surut hubungan, pernah di-ciye-ciye teman sekelas yang bikin Sena girang tapi sebaliknya bagi Keara, juga pernah menjadi orang asing satu sama lain.
Mereka melanjutkan sekolah di pesantren yang sama selama 6 tahun, di mana Keara baru mau mengaku punya perasaan yang sama pada Sena. Di sini mereka sering curi-curi kesempatan bertemu sambil bertukar surat di lapangan basket yang memisahkan asrama putra dan asrama putri. Sekali waktu mereka kena hukum usai surat-surat itu ketahuan.
Usai SMA mereka harus berpisah karena Sena memilih kuliah di Yogyakarta sementara Keara tetap di Bandung. Selama masa kuliah ini Sena yang tadinya berjanji selalu bertukar kabar justru menghilang. Empat tahun kemudian mereka baru berjumpa lagi. Sena menyatakan lamaran ketika Keara telah divonis dokter bisa lumpuh kapan saja dan usianya tinggal satu tahun lagi.
Hampir separuh jalan saya rasa tak ada yang istimewa. Secara keseluruhan pun lebih berkesan dramanya lewat kisah cinta yang sangat eksplisit dibanding kisah hidup bermuatan inspirasi. Inilah sisi paling beda buku ini dibanding karya Fahd lainnya. Namun bukan berarti Jodoh tak layak baca. Dari 245 halaman, ada bagian yang saya sukai yaitu ‘Penantian’ dan ‘Pilihan’.
Baca Juga:
Resensi Buku Marti & Sandra Karya Seno Gumira Ajidarma
Imajinasi Fahd yang ciamik tertuang dalam dua bab ini, seperti kisah-kisah mengesankan dan menggugah seperti yang ada di dalam karya pertamanya ‘A Cat in My Eyes’. Bagian ini menggairahkan karena berisi kisah (relatif) baru yang imajinatif ala Fahd. Tapi bab-bab berikutnya kembali menyampaikan narasi yang terlalu ringan.
Namun, keputusan memilih epilog berisi kesedihan patut diapresiasi. Saya rasa bagian ini memperkuat kelogisan cerita dan bisa membuat pembaca mengesampingkan pikiran “ah ini kan cuma cerita”. Sebab bagi saya, kepahitan adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan. Akhir kisah yang melulu manis terasa berjarak dengan realitas.
Jodoh disampaikan Fahd dalam format dua waktu, yaitu masa kini dan masa lalu, yang diselang-seling. Meski demikian, jalan cerita bisa dengan mudah diikuti karena Fahd sengaja memberikan font teks yang berbeda antara masa lalu dan masa kini.
Hal penting yang saya dapat dari buku ini adalah Fahd berkali-kali mengajak kita untuk mendeskripsikan (ulang) apa itu jodoh. Apa yang selama ini kita pahami bersama, yaitu orang yang berhasil dinikahi, menjadi ayah/ibu dari anak-anak, orang yang berhasil diajak menjaga kelanggengan pernikahan sampai tua dan mati, secara tidak langsung diretakkan oleh penjelasan yang begitu apik di bagian hampir akhir cerita yang saya kutipkan berikut ini.
“Kita berjodoh, Keara. Sekarang aku bisa mengatakannya dengan yakin. Kita berjodoh meski kita tak menjadi sepasang kekasih yang menikah, tinggal bersama, memiliki anak-anak, dan hidup bahagia hingga maut memisahkan kita.
Kita berjodoh meski impian dan rencana-rencana kita tak tercapai. Kita berjodoh karena bagaimanapun Tuhan telah mengizinkan kita bertemu, menuliskan kisah kita berdua, dan berbahagia di salah satu persimpangan kehidupan yang pernah kita alami bersama.
Kita berjodoh karena takdir telah mempertemukan kita di salah satu persimpangan waktu, membuat kita jadi lebih dewasa, membuat hidup kita lebih bermakna.” (hal 244)
Baca Juga:
Resensi Buku Melihat Pengarang Tidak Bekerja Karya Mahfud Ikhwan
Pelajaran lainnya, yang sebenarnya tak berkaitan langsung dengan cerita, adalah kebebasan dalam menulis. Lewat obrolan Sena dan Keara, Fahd mengajak pembaca melupakan segala pakem ‘harus begini’ atau ‘harus begitu’.
Sena yang suka bercerita lewat tulisan, menuliskannya begitu saja, mengalir apa adanya. Tulisan-tulisannya terpisah-pisah bagaikan puzzle yang jika disatukan saling berhubungan. Prinsip ini agaknya sejalan dengan pesan novelis cum cerpenis asal Inggris William Somerset Maugham yang kurang lebih begini, “Ada tiga aturan dalam menulis novel. Sayangnya tidak seorang pun mengetahui aturan itu”.
Tentang Peresensi:
Ahada Ramadhana, lahir di Kutai Kartanegara, 07 Maret 1993. Resensinya tersebar di detik.com, jawapos.com, mjscolombo.com. Terdata sebagai Wartawan Muda di Dewan Pers. Kini bekerja di akurat.co, bermukim di Yogyakarta. Menerbitkan buku Pandangan Para Filosof (2020), merupakan catatan selaku santri Ngaji Filsafat di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta yang diampu dosen Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Dr. Fahruddin Faiz.
—
Ruangguru membuka kesempatan untuk kamu yang suka menulis cerpen dan resensi buku untuk diterbitkan di ruangbaca, lho!
Setiap minggunya, akan ada karya cerpen dan resensi buku
yang dipublikasikan. Kamu bisa
baca karya resensi buku menarik lainnya di sini
, ya. Yuk, kirimkan karyamu juga! Simak syarat dan ketentuannya
di artikel ini
. Kami tunggu ya~