Perjalanan menjadi penulis yang penuh lika-liku diceritakan oleh Mahfud Ikhwan dalam buku Melihat Pengaran Tidak Bekerja. Penasaran ingin membaca? Simak review berikut ini dulu, yuk!
—
Serupa perbuatan baik lain, menulis itu selalu sulit ditunaikan. Dihadapkan ragam rintangan yang coba menghadang. Hasrat menaja menulis tersublim kuat di kedirian, namun selalu saja ada banyak alasan untuk tak menulis.
“… sebesar itu pula upaya saya mencari alasan untuk tak melakukannya”
. Ujar Mahfud Ikhwan saat meyakini menulis itu berat.
Menulis dengan segala tetek-bengek likunya, menggoda Mahfud Ikhwan sebagai pengarang. Kerja keabadian itu bukan sekadar persoalan memulung kata, merakitnya, hingga menjadi kesatuan kalimat yang utuh nan padu. Melebihi itu, gangguan berupa enggan dan kebisingan yang membikin fokus terpecah rajin menghantui. Di
Melihat Pengarang Tidak Bekerja
, pembaca disuguhi ornamen sendu luapan kerja-kerja Mahfud sebagai pengarang.
Pengalaman dan perasaan campur aduk terhimpun dalam dua belas esai bercerita dunia kepenulisan yang pelik. Mahfud mengakrabi kerja-kerja menulis. Ia begitu mencintainya (meskipun profesi menulis masih terdengar aneh di lingkungannya). Karenanya pengalaman sesubtil apa pun tak luput ia tulis, diceritakan. Bahkan persoalan tidur pun ia tautkan dengan proses menulisnya itu.
Masa-masa produktif Mahfud menulis selalu bersua tidur yang buruk. Ia tak memiliki tempat dan jam tidur yang baik. Padahal di kedirian nya mengira, bahwa dirinya butuh tidur yang cukup untuk bisa menulis, dan menulis ia perlukan agar tidurnya terasa sahih dan pantas. Begitu terbangun dari tidurnya yang baik, ia merasa segar dan bergegas menulis. Namun, ia mesti menulis apa?
Pertanyaan kelabakan itu segera memunculkan anggapan bahwa dirinya mesti memerlukan tidur lagi untuk memunculkan ide. Namun sungguh, ia hanya alasan di balik berjibun alasan lain untuk tak menulis. Ada banyak alasan untuk tak menulis, dan alasan-alasan itu sungguh merayu dengan menawarkan realitas kegiatan lain yang lebih nyaman dan menggoda.
Mahfud menyadari, dibandingkan kegiatan lain, kegiatan menulis tak sereaktif serupa kegiatan memasak. Ia hanya duduk dan berjibaku di depan mesin ketik melawan rasa kantuk. Tak ada irama gerak tubuh lain selain itu. Rasa kantuk tak dapat dihindari seorang pengarang. Tentu sedikit menjemukan. Rasanya ingin menggantinya dengan kegiatan lain. Menangguhkannya pamrih menelurkan ide-ide. Tetapi, seketika ibadah baik itu ditangguhkan, ia malah hanyut berkarib dengan rasa malas.
Tentu tidak ada orang kreatif, serupa Mahfud misalnya, yang melahirkan karya-karya yang baik tanpa melalui dinamika pelik di dalamnya. Rollo May, bapak psikoterapi eksistensialis
cum
penulis buku Psikologi Kreativitas, mengamini itu dengan memberikan beberapa hipotesis tentang konsep psikologi eksistensialnya. Suatu konsep psikologis yang menjadi embrio lahirnya kreativitas di kedirian seseorang.
Konsep psikologis tersebut di antaranya kecemasan, rasa bersalah, cinta, dan kepedulian. Ketika seseorang mengalami rasa cemas saat bersua sesuatu yang mengerikan dalam hidupnya, ia secara tidak langsung telah mengkonfirmasi kecemasan itu menjadi energi kreatif yang berguna. Merasa bersalah kepada diri sendiri, orang lain, dan alam merupakan hal yang wajar, yang kelak para seniman maupun sastrawan butuh kan untuk melukiskan dan menarasikannya dalam tiap karya mereka.
Demikian juga kala jatuh cinta dan peduli terhadap entitas yang ada di muka bumi ini, akan membikin diri seseorang kreatif. Jika ia seorang pengarang, akan ada suatu kebaruan yang ditawarkan dalam setiap karyanya, tidak monoton. Barangkali ini yang terasa dalam setiap tulisan ‘sepak bola’ seorang Mahfud. Tertungkus lumus dengan dunia sepak bola selama bertahun-tahun, mengalami sublimasi pertautan emosional dengan sepak bola, tulisan Mahfud selalu menghidangkan kebaruan kepada pembaca.
Olahraga yang begitu dicintainya tersebut, selalu menyimpan seabrek narasi yang perlu ia ceritakan. Detail peristiwa hingga luapan emosi para aktor lapangan hijau tak luput disorot, membikin sepak bola di mata Mahfud bukan olahraga yang monoton, bukan melulu persoalan kalah-menang. Melebihi itu, dirinya melihat sepak bola terus berkelindan kedalaman peristiwa sejarah, sosial, budaya, politik dan kondisi psikologis seseorang.
Beberapa novel dan kumpulan esai telah Mahfud ciptakan bertaut kemelut psikologis yang menyertainya.
Melihat Pengarang Tidak Bekerja
bisa jadi semacam cerita proses kreatifnya yang dibukukan untuk pertama kali. Pembaca karya-karya Mahfud seolah diberitahu, bahwa kerja-kerja mengarang mesti bergumul dengan kenyataan yang begitu pelik dan menantang. Karena ia menantang, puncak melahirkan karya serupa ekstase kenikmatan surga, yang untuk meraihnya sering kali bersua bisikan buruk untuk menghentikannya,
“selalu ada setan untuk setiap langkah menuju menulis”
. (Hal-38)
Jalan terjal laku kreativitas menulis selalu berbatu dan berduri. Pram mungkin tak selegendaris apa yang kita bayangkan dalam jagat kesusastraan kita, jika tidak mengalami kemelut sosial yang pelik pada masanya. Sedikit gambaran tentang Pram bisa jadi merepresentasikan tantangan eksternal yang dialami seorang penulis. Dalam konteks kekinian, godaan yang justru muskil bermula dari godaan yang datangnya dari dalam.
Baca Juga:
Resensi Buku Filosofi Teras Karya Henry Manampiring
Di tengah kondisi sosial yang guyub, tidak ada dentuman mesiu di sana-sini, menulis masih saja sulit ditunaikan. Bukan perkara keterbatasan medium, bagi Mahfud ini menyangkut persoalan internal. Secara implisit Mahfud dalam buku ini hendak mengatakan, bahwa tantangan menulis yang paling sulit ialah diri kita sendiri.
Bagaimana menghadapi diri yang tak kunjung selesai kala diterungku kenyamanan berselancar di gawai, menangguhkan bacaan demi hal remeh-temeh, dan kecenderungan berada di zona nyaman lainnya. Semuanya itu, tantangan internal yang mesti dihadapi agar tetap terhubung dengan energi kreatif di setiap menaja laku menulis.
Akhirnya, buku bergenre esai ini—yang sebagian besar dimuat
mojok.co
—(mungkin) amat berharga bagi para penulis, baik pemula maupun yang sudah produktif berkarya. Musababnya, cerita ihwal dunia kepenulisan selalu menjadi peristiwa trivial yang barangkali kita rasakan, namun sering kali kita tidak mengenalinya selama menulis. Untuk itulah cerita proses kreatif penting untuk dihidangkan. Minimal jadi telaah reflektif yang dapat memompa daya imajinasi kita, gerak tubuh, dan pikiran agar tak berhenti menangguhkan suatu karya yang hampir selesai. Semoga.
Tentang Peresensi:
Muhammad Ghufron merupakan seorang pegiat literasi di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta dan Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Menulis Esai dan Resensi di pelbagai media cetak dan elektronik seperti Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Koran Sindo, Solo Pos, Tribun Jateng, Lensasastra.id, Harakatuna.co, Maghrib.id, dan Iqra.id.
—
Ruangguru membuka kesempatan untuk kamu yang suka menulis cerpen dan resensi buku untuk diterbitkan di ruangbaca, lho!
Setiap minggunya, akan ada karya cerpen dan resensi buku
yang dipublikasikan. Kamu bisa
baca karya resensi buku menarik lainnya di sini
, ya. Yuk, kirimkan karyamu juga! Simak syarat dan ketentuannya
di artikel ini
. Kami tunggu ya~