Karya Mochamad Bayu Ari Sasmita
—
Tidak banyak yang kuingat tentang Marina karena memang kami tidak terlalu lama bersama. Tapi ada satu hal yang begitu kuat bertahan di ingatanku sampai hari ini, yakni ketika dia mengajariku tentang rumus volume kubus di sekolah dasar.
“Rumus untuk mencari volume kubus adalah luas alas kali tinggi. Karena setiap sisi kubus adalah persegi, kau bisa menyederhanakan rumusnya menjadi S pangkat tiga.” Dia kemudian memberikan contoh pengerjaannya kepadaku. Diketahui bahwa sebuah kubus memiliki panjang enam sentimeter pada setiap rusuknya. Berapakah volume kubus tersebut? Marina menulis pada buku catatanku.
Dia menggambar kubus dan menuliskan angka enam pada salah satu rusuknya. Lalu, dia memulai penghitungannya. Dia bertanya kepadaku, “Berapa hasil dari enam kali enam?” Aku menjawab tiga puluh enam. “Dikali enam?” Aku perlu waktu untuk menjawabnya.
Kuambil pensilku dan mengalikan angka tiga puluh enam dengan enam secara manual. Selama aku menghitung, Marina mengawasiku, melihatku dengan cermat seolah bersiap menegurku jika aku melakukan kesalahan. Ketika dia melihat hasil yang kuperoleh dari perkalian itu, dia tersenyum. Dia bahkan mengelus rambutku seolah dia lebih tua dariku. “Begitu. Hanya begitu. Kau bisa mengingatnya?” Aku mengangguk.
Marina satu kelas denganku. Lebih lanjut, dia semeja denganku. Dia perempuan berkulit langsat. Rambutnya dikuncir ke belakang. Baunya selalu harum dan seragamnya hampir tidak pernah kusut.
Dia murid favorit setiap guru yang mengajar di kelas kami dan sering dikirim ke lomba cerdas cermat antarsekolah. Banyak anak laki-laki yang tertarik kepadanya, bahkan sampai menyelipkan sebuah surat cinta dengan amplop berwarna merah jambu (entah dari mana mereka mendapatkan benda semacam itu) ke bukunya yang tergeletak di atas meja begitu saja ketika dia sedang keluar sebentar entah ke mana.
Namun, hal semacam itu tidak pernah dia gubris. Dia membaca surat-surat itu, kemudian melipatnya lagi, dan memasukkannya ke amplop lagi seperti semula. Dia mengembalikan amplop itu kepada pengirimnya; beberapa pengirim cukup percaya diri dengan menuliskan nama mereka di sana.
Jika hal itu terjadi, berarti laki-laki itu telah ditolak dan teman-temannya akan mulai mengolok-olok si laki-laki yang ditolak tadi. Jika seorang anak laki-laki ditolah oleh Marina, dapat dipastikan bahwa dia akan kena olok-olok kira-kira sampai seminggu. Dia akan mulai merasa bahwa sekolah adalah neraka paling dasar yang pernah diceritakan oleh guru PAI.
Aku bukan salah satu dari mereka dan mungkin tidak akan pernah sanggup melakukan hal semacam itu. Bahkan, jika hendak mengiriminya surat cinta dengan amplop berwarna merah jambu sekarang, surat itu tidak mungkin dia terima dan, secara otomatis, aku tidak akan pernah menerima jawaban darinya. Perasaanku kepadanya yang termaktub dalam surat itu akan bernasib seperti jemuran yang tergantung dan bergerak ke sana-sini karena tertiup angin.
Baca Juga:
Cerek Talise Karya Karya Nadhila Hibatul Nastikaputri
Hari itu, setelah dia mengajariku tentang rumus untuk mencari volume kubus, aku mendapatkan kabar bahwa dia diculik dalam perjalanan pulang dari sekolah. Beberapa saksi mengaku bahwa mereka melihat Marina dimasukkan ke sebuah mobil berkaca gelap dan berplat nomor yang tidak begitu jelas di pertigaan. Tidak ada kamera pengawas di sana, juga tidak ada yang sempat merekam.
Peristiwa itu berjalan dengan begitu cepat seperti embusan angin, seseorang baru tersadar setelah mobil menjauh. Sebenarnya, tempat itu juga tidak terlalu sepi, bahkan cenderung ramai oleh orang berlalu-lalang, ada sebuah bengkel tidak jauh dari sana yang tidak pernah sepi. Tapi, bagaimanapun, penculikan itu telah terjadi. Marina diculik dan tidak seorang pun tahu di mana dia berada.
Semua orang panik. Pertigaan itu dipenuhi oleh banyak orang dan belakangan polisi juga datang. Mereka membicarakan banyak hal. Polisi-polisi itu bertanya kepada setiap orang yang bertempat tinggal di sekitar sana. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Rumahku tidak jauh dari sana, tapi ibuku menyuruhku untuk tetap berada di dalam rumah.
Aku hanya bisa melihat mulut mereka berkecumik dan tangan mereka bergerak-gerak dari balik jendela kaca rumahku. Dari sana, aku melihat ibu Marina menangis histeris. Ibu-ibu yang lain coba untuk menenangkannya. Dia terlihat begitu tak berdaya dan hampir saja ambruk jika ibu-ibu yang lain itu tidak menopang tubuhnya.
Semenjak hari itu, ibuku melarangku bermain di luar sepulang sekolah. Dia selalu mengantarku ke sekolah sambil berjalan kaki, juga menjemputku. Anak-anak lain juga mengalami hal yang sama denganku. Ruang kelas sedikit muram, semuanya seolah tidak ingin tertawa bahkan ketika ada suatu hal lucu yang sedang terjadi. Aku duduk seorang diri.
Kursi di sebelahku kosong tak berpenghuni. Kursi itu biasanya hangat, ada perempuan ceria yang duduk di sana. Dia akan menyimak setiap penjelasan dari para guru dan mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan yang dilemparkan kepada para murid. Namun, sekarang kursi itu kosong tak berpenghuni. Ada semacam hawa dingin yang mengitarinya. Kadang aku mengigil karena hal itu.
Para guru juga menasihati kami untuk lebih berhati-hati lagi dan menyarankan sebaiknya tidak keluar rumah untuk sementara waktu. Tidak ada lagi main sepak bola di lapangan, juga petak umpet, kejar-kejaran, atau bersepeda bersama. Kami, anak-anak di sekitar sana, dilanda sebuah teror yang membuat aktivitas kami menjadi terbatas. Ketakutan semacam itu berlangsung selama beberapa bulan, kira-kira empat bulan, sampai kemudian kami diizinkan untuk pergi ke luar lagi untuk bermain dan berangkat sekolah sendiri.
Sementara kami diharapkan agar selalu berada di rumah, orang-orang dewasa yang bekerja sama dengan polisi terus siaga di sekitar tempat itu. Beberapa kali mobil polisi melintas di sana tanpa membunyikan sirinenya. Pengumuman tentang hilangnya Marina disebarkan dalam bentuk pamflet-pamflet yang ditempelkan di dinding, warung, toko, atau tiang listrik.
Baca Juga:
Cerpen Gadis Kecil di Tepi Jalan Karya Mustoifah
Mereka juga membuat sebuah papan pengumaman di pertigaan itu. Papan itu terutama berisi tentang peringatan bahwa telah terjadi penculikan di sana dan mengharapkan agar para orang tua lebih berhati-hati terhadap anak-anak mereka. Selain itu, juga terdapat pesan-pesan dari kami, teman-teman sekelas Marina, yang ditempelkan di sana.
Suatu hari, setelah peristiwa penculikan Marina terjadi, wali kelas kami datang ke kelas dengan setumpuk kertas kosong. Dia membagikan kertas-kertas itu kepada kami, tiap anak mendapat satu. Dia menyuruh kami untuk menuliskan pesan kepada Marina. Dia berharap, dengan adanya pesan-pesan dari kami, Marina bisa segera kembali bersama kami. Hal itu tidak lebih sebagai tindakan simbolis belaka.
Aku pun menulis, “Marina, ajari aku tentang rumus-rumus Matematika lagi,” kemudian membubuhkan namaku di bagian bawahnya. Kertas-kertas itu kemudian dikumpulkan kembali ke wali kelas kami. Dia membacanya dengan tersenyum, juga dengan air mata yang turun perlahan dari balik kacamatanya.
Setiap kali aku melewati papan tersebut, selalu kusempatkan diriku untuk membaca pesan yang kutulis itu: “Marina, ajari aku tentang rumus-rumus Matematika lagi.” Tapi Marina belum juga kembali lagi bersama kami. Kertas-kertas di papan pengumuman itu telah melapuk, beberapa di antaranya telah pudar tintanya dan tidak terbaca lagi.
Beberapa di antara kami, yang mengetahui kertas-kertas yang telah usang itu, menggantinya dengan kertas-kertas baru dengan isi pesan yang sama seiring berjalanannya waktu. Aku pun juga melakukannya.
Setelah teknologi semakin canggih, kami, teman-teman sekelasnya, bersepakat untuk mengunggah foto masa kecil Marina yang kami peroleh dari orang tunya dengan keterangan bahwa kami merindukannya dan berharap dia segera kembali di masing-masing akun media sosial kami. Unggahn-unggahan itu juga dibagikan oleh teman-teman kami dari dunia maya yang merasa turut bersimpati atas menghilangnya Marina.
Tapi, seiring berjalannya waktu, seiring tumbuhnya kami menjadi remaja, semakin sedih pula hati orang tua Marina. Dia berharap dapat melihat putrinya juga menjadi remaja seperti halnya kami. Untungnya, kesedihan itu tidak diiringi dengan dendam kepada kami karena perasaan iri dengki.
Memang ada nasihat dari para tetua desa agar orang tua Marina sebaiknya mengikhlaskan putrinya saja, nasihat itu sebenarnya juga ditujukan kepada kami, sebaiknya kami menganggap Marina sudah tidak ada lagi di dunia ini. Kami disuruh agar menganggap Marina sudah tenang di alam sana. Tapi aku tidak pernah sanggup untuk membayangkan hal semacam itu.
Jika diingat-ingat lagi, aku belum berterima kasih atas penjelasannya tentang rumus volume kubus saat itu. Aku merasa masih memiliki utang dari masa lalu yang harus kubayar. Karena hal itulah aku tidak bisa menerima saran agar mengikhlaskannya, menganggapnya sudah tidak ada lagi di dunia ini.
Aku membayangkan bahwa dia juga tumbuh sebagaimana halnya kami. Dia tumbuh menjadi perempuan tinggi dan ramping. Rambutnya tetap panjang dan diikat ke belakang. Dia akan mengambil studi Pendidikan Matematika di sebuah universitas ternama di salah satu kota besar di negeri ini dan lulus dari sana dengan pujian.
Dia akan mulai mengajar di sebuah sekolah, tentu saja mata pelajaran Matematika. Saat itu, ketika dia telah menjadi guru Matematika, dia akan menjadi guru Matematika yang baik dan penyayang. Dia akan mengajari murid-muridnya dengan telaten. Dia tidak akan marah meskipun ada sepuluh anak di kelas yang diajarnya tidak mengerti tentang penjelasan yang baru saja selesai dia berikan beberapa detik lalu.
Dia akan mengulangi penjelasannya dari awal di jam selain jam pelajaran kepada kesepuluh murid tadi. Dia akan membimbing mereka dengan begitu perlahan dan memastikan bahwa mereka benar-benar paham tentang yang diajarkannya.
“Rumus untuk mencari volume kubus adalah luas alas kali tinggi. Karena setiap sisi kubus adalah persegi, kalian bisa menyederhanakan rumusnya menjadi S pangkat tiga.” Dia kemudian memberikan contoh pengerjaannya. “Diketahui bahwa sebuah kubus memiliki panjang enam sentimeter pada setiap rusuknya. Berapakah volume kubus tersebut?” Marina akan menulis pada buku catatannya dan menyuruh kesepuluh anak tadi untuk melihatnya secara dekat.
Dia menggambar kubus dan menuliskan angka enam pada salah satu rusuknya. Lalu, dia memulai penghitungannya. “Berapa hasil dari enam dikali enam?” Dia akan menerima jawaban dari murid-muridnya. “Berapa hasil dari tiga puluh enam dikali enam?” Dia akan menunggu jawaban dari murid-muridnya yang berjuang untuk mengalikan kedua bilangan tersebut.
Hal semacam itulah yang mestinya terjadi jika Marina tidak tiba-tiba menghilang dari kehidupan orang-orang di sekitarnya.
Baca Juga:
Arita dan Sofanya Karya Abinaya Ghina Jamela
Tentang Penulis:
Mochamad Bayu Ari Sasmita. Lahir di Mojokerto pada HUT RI Ke-53. Menyelesaikan studi S1 Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang (2021). Beberapa cerpennya pernah tayang di media daring dan luring. Sekarang tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Bisa dihubungi di instagram @sasmita.maruta.
—
Ruangguru membuka kesempatan untuk kamu yang suka menulis cerpen dan resensi buku untuk diterbitkan di ruangbaca, lho!
Setiap minggunya, akan ada karya cerpen dan resensi buku
yang dipublikasikan. Kamu bisa
baca karya cerpen menarik lainnya di sini
, ya. Yuk, kirimkan karyamu juga! Simak syarat dan ketentuannya
di artikel ini
. Kami tunggu ya~